“Full Metal Jacket” adalah sebuah kisah suka duka U.S. Marine yang menjalani peperangan di Vietnam, yang digambar lewat sosok Private J.T. ‘Joker’ Davis. Berbeda dengan film Kubrick lainnya, film ini dibuka dengan opening music “Hello Vietnam” yang bertemakan country serta diiringi dengan sederetan footage para pria yang sedang dicukur hingga botak.
Opening tadi ternyata berlanjut kisah pertama dalam film ini: Masa pelatihan. Pelatihan dilakukan di Parris Island selama 14 minggu, sebelum para calon marine ini dikirim ke Vietnam. Penonton akan bertemu dengan sosok Gunnery Sergeant Hartman, yang diperankan oleh R. Lee Ermey. Hartman adalah pelatih yang keras, namun tetap adil, dan juga seorang motivator. Dari sudut pandang Joker, yang diperankan oleh Matthew Bodine, kita akan menyaksikan sebuah perubahan karakter pada seorang rekan mereka yang bernama Private Leonard ‘Gomer Pyle’ Lawrence. Pyle, sapaan singkatnya, adalah salah satu rekan Joker. Namun yang membuat karakternya menjadi istimewa adalah karena proporsi badannya yang besar dan selalu membuat kesalahan. Karakter yang diperankan oleh Vincent D’Onofrio ini akan menjadi salah satu ‘nyawa’ utama pada bagian cerita ini.
Apa yang menarik di masa training camp ini? Hartman dengan gaya teriakan hingga caci makiannya itu cukup kontras dengan beberapa hal: scumbag, f**k, dick, bullshit, maggots, Jesus H. Christ, hingga panggilan manisnya untuk para muridnya, “ladies”. Saya cukup menyukai bagaimana cara Hartman melatih dan mendidik murid-muridnya lewat cara memotivasi yang keras, disertai dengan bagaimana mereka dalam sebuah platon untuk saling mendukung. Terutama bagaimana Ia nantinya memperlakukan Pyle di dalam film ini. Salah satu adegan yang menarik dalam bagian ini adalah ketika Hartman memimpin para muridnya untuk baris berbaris mengitari ruangan sambil memegang senjata mereka dan memegang kelamin mereka, dan berkata berulang kali, “This is rifle, this is my gun. This is for fighting, this is for fun.”
Bagian kedua dari cerita ini adalah ketika para murid yang berstatus U.S. Marine ini dikirim ke Vietnam. Adegan pertama diawali dengan adegan tawar menawar seorang perempuan, yang menjajakan dirinya ke Joker dan Rafterman seharga $15. Adegan tersebut berakhir dengan pencurian kamera Rafterman, dan saya cukup menangkap bagaimana Kubrick ingin menggambarkan situasi Vietnam yang kala itu juga banyak penderita TB.
Beruntungnya, nasib Joker membuatnya tidak pergi ke medan perang. Ia ditugaskan untuk membantu sebagai combat correspondent di Stars dan Stripes. Suatu saat ketika menjelang Tet, atau Tahun Baru Vietnam, para pasukan ini mendapatkan serangan. Joker ditugaskan untuk meliput di Phu Bai. Penugasan itu ternyata memperlihatkan satu tayangan dehumanisasi untuk Joker dan memberitahu cara pandang para tentara saat ini: agar tidak mati dan dapat tetap hidup.
Era 80-an mungkin tergolong sebagai jaman yang paling sering mengangkat film-film bertemakan perang Vietnam. Sebut saja “Good morning Vietnam”, “Born of the Fourth of July”, “Apocalypse Now”, hingga “Platoon.” Perang yang berlangsung selama 19 tahun, yang kemudian berakhir di 1975 ini ternyata menjadi sebuah kritik, terutama bagi Amerika. Seperti yang diperlihatkan dalam film, kesan “freedom” bukanlah tujuan utama dalam kegiatan perang ini. Para tentara yang terkesan awalnya pergi ke Vietnam untuk membantu Vietnam Selatan ternyata cukup banyak yang memiliki perubahan pandangan. Lama-kelamaan mereka berpikir bahwa aksi ini adalah “pembantaian”, seperti yang dirujuk dari ucapan Animal Mother dalam film ini.
Cukup banyak simbolisasi yang digunakan Kubrick dalam film ini. Pertama, dari judul film ini sendiri. Full Metal Jacket sebetulnya merupakan simbolisasi bagaimana para U.S. Marine harus dapat menjadi tentara yang keras dan tidak takut mati. Juga, ada beberapa helm tentara yang berisi kutipan, seperti helm Animal Mother yang bertuliskan ‘I Am Become Death’, sebuah kutipan dari Bhagavad Gita. Ataupun kepragmatisan Joker saat ia yang selalu mengenakan lencana perdamaian dengan helm bertuliskan ‘Born to kill.’
Saya cukup menikmati film Kubrick yang satu ini. Juga cukup heran, dengan kurangnya musik-musik klasik yang mengiring seperti biasanya, film ini lebih menggunakan musik country, hingga rock sebagai background theme song-nya. Yang menarik dalam film ini adalah bagaimana Kubrick menggambarkan proses dehumanisasi.
Banyak pihak mengatakan bahwa tema film Kubrick selalu berbicara mengenai hal ini. Saya sangat setuju, dan menurut saya, Kubrick berupaya menampilkan hal tersebut dari berbagai macam latar. Misalnya, seperti Akademisi Humbert Humbert di “Lolita”, Kriminal Alex DeLarge di “A Clockwork Orange”, Dr. William Hartford di “Eyes Wide Shut”, atau sosok Private Gomer Pyle di film ini. Film ini tidak akan membuat anda kenyang seperti aksi tempur menempur di film perang lainnya. Akan tetapi, film ini berupaya untuk memberikan sebuah pandangan baru tentang makna perang dan intrik-intrik didalam yang sebenarnya. A must-see anti-war-movie!