Sebagai film terakhir Stanley Kubrick, “Eyes Wide Shut” tergolong sebagai salah satu peninggalannya yang terbaik. Kubrick mencoba mengangkat kisah dengan tema yang terkesan erotika, namun dipenuhi nuansa misteri pada kehidupan seorang dokter yang bernama Dr. William Hartford, yang diperankan oleh Tom Cruise.
Film dimulai dengan alunan klasik Shostakovich “Suite for Variety Stage Orchestra” yang kemudian ditampilkan pada suasana kamar sepasang suami istri, dan kedua pemilik ruangan tersebut sedang bersiap-siap untuk menghadiri sebuah undangan pesta. William Hartford, atau yang juga disapa Bill adalah seorang dokter yang cukup populer di kalangannya. Ia tinggal bersama istrinya, Alice Harford, dan putri tunggalnya, Helena.
Pasangan ini ternyata menghadiri pesta Victor Ziegler, salah satu pasien Bill yang kaya raya, yang diperankan oleh Sidney Pollack. Dalam pertemuan berlatar american jazz, keduanya masing-masing dipertemukan dengan sosok-sosok asing yang membuat mereka pada akhirnya saling menduga satu sama lain. Tidak ketinggalan, Bill juga bertemu dengan sosok Nick Nightingale, yang diperankan oleh Todd Field, yang merupakan teman lama semasa berkuliah, yang saat itu sudah beralih profesi menjadi pemain piano jazz. Pesta Ziegler ternyata menjadi sedikit pemicu awal mula cerita ini.
Sesuai pesta, ternyata kecurigaan antar keduanya berlanjut dari sebuah dialog yang terjadi di kamar Harford. Alice menanyakan apa yang dilakukan Bill dengan kedua wanita yang mendekatinya, dan apakah Ia menyempatkan diri untuk melakukan seks dengan keduanya. Di sisi lain, Bill juga menanyakan tentang kedekatan Alice dengan seorang pria paruh baya yang berdansa dengannya, yang sangat jelas terlihat berusaha menggoda Alice untuk mendapatkan seks dengannya. Keduanya berusaha jujur dengan aksi mereka. Yang menarik, Alice mencoba untuk memancing emosi Bill dan membuat sebuah pengakuan: Ia hampir mencurangi keluarganya.
Dialog ini ternyata menghasilkan sebuah efek yang memusingkan Bill. Pengakuan istrinya yang selama ini dianggap setia dan mencintainya, ternyata punya pemikiran dan niat yang tidak pernah disangka. Keadaan ini membuat Bill menjadi sedikit irrasional dan masuk ke dalam situasi-situasi yang dikaitkan dengan pengakuan sang istri, sehingga Ia memutuskan untuk memulai petualangannya.
Kubrick menghadirkan sebuah tontonan artistik, sebagai dampak dari gaya perfeksionisnya. Film ini masuk ke dalam Guiness Book of World Record, sebagai film yang paling lama memakan waktu shooting, selama lebih dari 15 minggu dan dilakukan dengan konstan. Kubrick banyak melakukan rewriting langsung pada naskahnya, serta menghasilkan banyak sekali pengambilan gambar.
Naskah film ini dikerjakan oleh Kubrick dan Frederic Raphael. Mereka mengadaptasi cerita ini dari sebuah novel erotik tahun 1926 yang berjudul “Traumnovelle”, karangan seorang penulis Austria, Arthur Schnitzler. Dalam film ini, mereka berdua menyebutnya sebagai sebuah karya yang terinspirasi, sebagai akibat banyaknya perubahan dan penyesuaian yang dilakukan. Salah satunya adalah dengan merubah setting cerita yang seakan terjadi pada jaman tersebut.
Salah satu elemen yang cukup menarik dalam film ini adalah warna. Larry Smith, sinematografer film ini ditugaskan untuk menampilkan warna asli dari setiap adegan, tanpa adanya penambahan efek lampu studio. Hasilnya, tampilan yang diperlihatkan lebih sedikit gelap namun cukup kontras ketika diakali lewat penerangan lampu-lampu pohon natal yang dijadikan sebagai salah satu theme background ceritanya.
Elemen musik dalam film ini juga punya peranan penting. Jocelyn Pook menghadikan score-score yang menambah dramatisasi kengerian suasana yang dihadirkan. Dentingan piano pada nada yang sama berulang kali menghasilkan efek teror-meneror pada sosok karakter utama. Juga pada adegan ritual penyembahan yang dilanjutkan dengan orgy sex, yang hanya didominasi dengan musik penyembahan dari sebuah piano.
Kesan artistik dapat saya rasakan cukup jelas lewat bagaimana Kubrick mencoba menampilkan setiap set dengan detil, terdiri dari banyak objek, yang sudah pasti akan memakan banyak waktu. Juga bagaimana Ia menggambarkan setiap adegan yang ritme yang cukup lambat dan dialog yang menarik. Yang menurut cukup artistik selanjutnya adalah bagaimana penggambaran pada karakter Alice, yang ditampilkan se-sensual mungkin, mulai dari rear frontal nudity, lalu berlanjut ke adegan topless, dan berakhir dengan sebuah adegan seks.
Yang lebih menarik lagi adalah penggambaran Kubrick pada masked sex party di sebuah mansion. Mulai dari bagaimana suasana digambarkan cukup misterius, dari simbolisasi topeng-topeng yang dikenakan, lalu berlanjut dengan proses ritual yang berakhir dengan tampilan sex orgy. Kubrick menggunakan banyak pemain yang terlihat nude dalam film ini, namun ditutup dengan topeng. Sedikit bicara tentang tema yang diangkat, Kubrick juga sedikit menyentil topik underage sex and prostitution serta drug yang juga bumbu cerita perjalanan Bill.
Melihat peran Tom Cruise dalam film ini yang menjadi pusat cerita, ternyata tidak semenarik dengan yang diperlihatkan Nicole Kidman. Kidman menampilkan sosok karakter yang sedikit “agak-agak”, tetapi hadir dengan sangat berkarakter dan seksi, terutama ketika Ia menggunakan kaca mata bulat yang selalu dikenakan saat Ia di rumah.
Film ini berdurasi cukup panjang, sekitar 159 menit, ternyata menjadi sebuah tontonan yang agak sedikit menghibur namun mencekam. Beberapa kali saya cukup tertipu dengan adegan yang dikesankan cukup vulgar, tetapi ternyata tidak. Film ini ditutup dengan sebuah interesting ending dan menjadi film Kubrick favorit saya setelah “The Shining.”