Sebagai salah satu nabi-nabi awal di dunia ini, “Noah” atau “Nuh” dalam bahasa, memiliki sebuah keistimewaan tersendiri dalam sejarah peradaban, yaitu sebagai pembentuk kembali kehidupan manusia atas bencana air bah yang diturunkan Sang Pencipta untuk membangun sebuah bumi yang baru.
Film ini dapat dikatakan sebagai salah satu proyek ambisius Darren Arronofsky, salah satu sutradara yang cukup dikenal lewat karya “Requiem for a Dream”, “The Black Swan”, ataupun “The Wrestler.” Bersama Ari Handel, Ia menulis naskahnya, kemudian memproduseri sekaligus menyutradarainya.
Yang menarik, Arronofsky memberikan sebuah interpretasi yang berbeda dari kisah aslinya. Arronofsky mencoba menghadirkan sosok Malaikat “The Watchers”, yang sebetulnya dijelaskan dalam kitab Enoch, dengan visualisasi yang dikemas layaknya kisah fantasi.
Sosok Nuh sendiri diperankan oleh Russell Crowe, dan menampilkan sosok Nuh dengan segala kesetiaannya, hingga determinasinya untuk membangun sebuah bahtera atas penglihatan yang diterimanya. Sosok Istri Nuh, Naameh, diperankan oleh Jennifer Connelly, yang sebelumnya juga bersama Crowe sempat menjadi sepasang suami istri pada adaptasi sosok Nash dalam “A Beautiful Mind”, lebih dari 1 dekade silam. Bicara tentang darimana asal nama Naameh, nama tersebut ternyata berasal dari tradisi Yahudi. Serta sekali lagi, Connelly memperlihatkan sebuah kehebatan, entah kenapa sosok Naameh berhasil diubahnya menjadi salah satu sosok yang punya andil besar dalam interpretasi Aronofsky.
Kembali lagi ke topik awal. Film ini juga menghadirkan sosok Antony Hopkins yang populer dengan karakter “Hannibal Lecter”-nya dan Ia berperan sebagai Metusalah, the great grandfather-nya Sem, Ham dan Yafet. Dalam film ini hanya diperkenalkan 3 anak Nuh dengan salah satu anak angkatnya yang kemudian menjadi istri Sem. Sosok Sem diperankan oleh Douglas Booth. Kemudian, Emma Watson berperan menjadi menjadi Ila, Istri Sem. Tidak ketinggalan sosok Ham dan Yafet yang diperankan Logan Lerman dan Leo McHugh Carroll. Yang cukup dikecewakan oleh saya adalah penampilan Watson yang terkesan cukup over.
Salah satu elemen yang cukup saya sukai dari garapan Aronofsky disini adalah bagaimana visualisasi di implementasi dengan latar belakang dataran Iceland yang natural. Walaupun kadang dikombinasikan dengan efek, salah satu yang menjadi favorit saya adalah ketika adegan Noah yang sedang berjalan kemudian disusul Naameh yang ditangkap dari samping serta keduanya hanya terlihat layaknya silhouette dengan latar langit biru gelap dibelakangnya.
Kembali menelaah kisahnya, memang akan terkesan seperti masuk ke dalam fantasi. Aronofsky berupaya untuk menampilkan fauna di jaman yang sangat dahulu tersebut, seperti menampilkan hewan buatan yang terkesan purba, dalam sebuah adegan ketika diburu dan coba diselamatkan Noah. Perlu dicermati, film ini tidak mencoba untuk memperlihatkan sebuah akurasi dalam kisah, seperti yang dicoba oleh Mel Gibson dalam “The Passion of the Christ”. Itulah sebabnya mungkin film ini seharusnya tidak dijadikan sebagai sebuah referensi sebagai pembelajaran dari Nabi Nuh, melainkan sebuah tontonan yang sekedar menghibur tentang Nabi Nuh. Yup, sekali lagi ini hanyalah sebuah tontonan menghibur.
