Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Setelah cukup lama bertengger dalam daftar tontonan saya, “Sweet Dreams” berhasil saya tonton dalam rangka Road to Jakarta Film Festival 2025. Kegiatan yang merupakan kerja sama dengan Cinemaworld ini berlangsung di tengah kota Jakarta yang sedang sibuk diramaikan para pendemo. Tentunya saya tidak akan membahas tuntutan mahasiswa dalam tulisan ini. Berikut ulasan saya.
Film ini bercerita tentang kehidupan orang-orang Belanda di masa kolonial. Salah satunya tentang Jan, diperankan oleh Hans Dagelet, yang hidup bersama sang istri, Agathe, diperankan oleh Renée Soutendijk, yang hidup di sebuah pedalaman Indonesia. Jan hidup dengan menjalankan bisnis perkebunan tebu, sekaligus gemar berburu di hutan. Sayangnya, tak ada lokasi spesifik dalam cerita ini.
Layaknya tanah kolonial, tak ada aturan yang wajar. Jan pun memiliki hubungan gelap. Ia kerap meniduri pembantunya, Siti, diperankan oleh Hayati Azis. Hasilnya, ia pun juga memiliki anak bernama Karel, diperankan oleh Rio Kaj Den Haas. Suatu ketika, Jan mendapati keracunan hingga tewas. Agathe pun menuliskan surat untuk memanggil putra tunggalnya yang tinggal di Belanda. Berkat ancaman, Cornelis, yang diperankan Florian Myjer, datang bersama istrinya bernama Josefien, diperankan Lisa Zweerman, yang tengah hamil tua.
Setiba di Indonesia, Cornelis dan Josefien yang sudah punya rencana tersendiri, mendapati segala keanehan yang terjadi. Mereka tidak menemukan jenazah Jan. Bisnis tebu Jan juga sudah tidak berjalan dan punya banyak utang. Belum lagi dengan kejutan jikalau harta kekayaan Jan diwariskan pada adik tirinya, Karel. Sungguh suatu kejutan.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh Ena Sendijarević, yang sebelumnya dikenal dari karya “Take Me Somewhere Nice” yang memenangkan Heart of Sarajevo award. “Sweet Dreams” sendiri dirilis melalui jalur kompetisi di Locarno Film Festival dan memenangkan sebuah penghargaan Pardo award untuk penampilan Soutendijk. Masuk ke beragam festival, berlanjut di Toronto, menjadi film pembuka di Netherlands Film Festival, Chicago, Thessaloniki, Taipei, sampai Göteborg. Puncaknya adalah ketika film ini memenangkan enam penghargaan di Netherlands Film Festival, termasuk Golden Calf untuk Best Feature Film dan Best Director. Sampai akhirnya terpilih sebagai perwakilan Belanda untuk Best International Feature Film pada 96th Academy Awards, dan tak masuk shortlist.
Dari segi penceritaan, Sendijarević membawa penonton bak cerita novel. Penceritaan dibagi ke dalam sekian babak yang diberi selingan black card yang berisi urutan babak dan judul. Pendekatan ini sedikit mengingatkan saya dengan cara yang sering dipakai, seperti yang kita lihat dalam “Poor Things“ ataupun “The Handmaiden.”
Dari segi cerita, apa yang dihadirkan memang tak seindah judulnya yang merupakan mimpi manis, tetapi penonton memang akan dibawa ke dalam suatu bak mimpi. Kejutan-kejutan yang hadir dalam cerita menggiring saya pada rasa khas film-festival dari Eropa. Begitu pula dengan penyajian set yang berwarna-warni meramaikan latar daerah pedesaan Nusantara. Warna-warni berani ini seraya mengingatkan saya dengan gaya pemilihan Wes Anderson, cuma bedanya warna palette yang dipilih tidak serasa pastel yang kerap dipilih Anderson. Warna berani seperti hijau giok, ataupun merah darah gelap jadi penanda ketegasan sekaligus keunikan tersendiri buat film ini.
Begitu pula dengan adegan di film ini. Penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa utama, lalu adanya bahasa Indonesia yang cukup menipu saya jika ini bukan merupakan film Indonesia. Bagaimana tidak, pemain cast Belanda terasa cukup fasih berbahasa, dan cukup mengagumkan buat saya. Di luar itu, saya menyukai upaya penghadiran masa kolonial, yang memperlihatkan kesenjangan masyarakat dengan orang Belanda kala itu, serta kesenjangan para masyarakat yang bekerja untuk orang Belanda dengan masyarakat biasa.
Dari sisi penampilan, saya amat menyukai Renée Soutendijk, yang awalnya saya kira sebagai the invisible hand di cerita ini. Saya cukup terkejut dengan apa yang kemudian dilakukan karakternya di akhir film, terutama ketika penyajian adegannya yang dikemas cukup lambat untuk bagian itu. Rasa sadis yang tidak terlihat sadis, namun mematikan.
Yang patut juga diapresiasi adalah penampilan berani Hayati Azis sebagai Siti. Siti hadir sebagai sosok yang terlihat mau disuruh, padahal sebetulnya tangguh. Terlepas dari cerita romansa kucing-tikus dengan karakter Reza, Siti justru terlihat lebih menonjol saat ia menemani Karel. Begitu pula saat adegan merokoknya bersama Josefien, yang sebetulnya rasanya tak layak antara majikan dan pembantu di masa itu.
Berdurasi 102 menit, “Sweet Dreams” menjadi tontonan mimpi yang akan memuaskan. Saya menyukai eksekusi ala film festival, yang entah kenapa sedikit mengingatkan saya dengan film horor Malaysia, “Tiger Stripes.” Walaupun tidak ada rasa historisnya, saya menganggapnya sebagai suatu karya fantasi yang menawan, tajam, dan memuaskan. Love it!
🇬🇧 English Version – Translated
After sitting on my watchlist for quite some time, “Sweet Dreams” I finally managed to watch as part of the Road to Jakarta Film Festival 2025. This activity, which is a collaboration with Cinemaworld, took place in the middle of Jakarta city that was busy being enlivened by demonstrators. Of course, I will not discuss student demands in this writing. Here is my review.
This film tells the story of Dutch people’s lives during the colonial era. One of them is about Jan, played by Hans Dagelet, who lives with his wife, Agathe, played by Renée Soutendijk, living in an Indonesian hinterland. Jan lives by running a sugar cane plantation business, while fond of hunting in the forest. Unfortunately, there’s no specific location in this story.
Like colonial land, there are no proper rules. Jan also has a dark relationship. He often sleeps with his maid, Siti, played by Hayati Azis. As a result, he also has a child named Karel, played by Rio Kaj Den Haas. One time, Jan was found poisoned to death. Agathe then wrote a letter to call her only son living in the Netherlands. Due to threats, Cornelis, played by Florian Myjer, came with his wife named Josefien, played by Lisa Zweerman, who was heavily pregnant.
Upon arriving in Indonesia, Cornelis and Josefien, who already had their own plans, found all the oddities that occurred. They didn’t find Jan’s corpse. Jan’s sugar cane business was also no longer running and had many debts. Not to mention the surprise that Jan’s wealth was inherited to his half-brother, Karel. Truly a surprise.
This film was written and directed by Ena Sendijarević, who was previously known from the work “Take Me Somewhere Nice” which won the Heart of Sarajevo award. “Sweet Dreams” itself was released through the competition route at the Locarno Film Festival and won a Pardo award for Soutendijk’s performance. Entering various festivals, continuing to Toronto, becoming the opening film at the Netherlands Film Festival, Chicago, Thessaloniki, Taipei, to Göteborg. The peak was when this film won six awards at the Netherlands Film Festival, including Golden Calf for Best Feature Film and Best Director. Until finally being selected as the Netherlands representative for Best International Feature Film at the 96th Academy Awards, and didn’t make the shortlist.
In terms of storytelling, Sendijarević brings the audience like a novel story. The storytelling is divided into several chapters given interludes of black cards containing chapter sequences and titles. This approach slightly reminds me of methods often used, as we see in “Poor Things“ or “The Handmaiden.”
In terms of story, what is presented is indeed not as sweet as its title which is a sweet dream, but the audience will indeed be taken into something like a dream. The surprises present in the story led me to the distinctive feel of European festival films. Likewise with the presentation of colorful sets enlivening the rural Nusantara backdrop. These bold colors remind me of Wes Anderson’s selection style, except the color palette chosen doesn’t feel like the pastel often chosen by Anderson. Bold colors like jade green, or dark blood red become markers of firmness as well as uniqueness for this film.
Likewise with scenes in this film. The use of Dutch as the main language, then the presence of Indonesian language quite deceived me that this is not an Indonesian film. How could it not, Dutch cast players feel quite fluent in language, and quite amazing for me. Beyond that, I love the effort to present the colonial era, which shows the gap between society and the Dutch at that time, as well as the gap between people working for the Dutch and ordinary people.
From the performance side, I really like Renée Soutendijk, who I initially thought was the invisible hand in this story. I was quite surprised by what her character then did at the end of the film, especially when the scene presentation was packaged quite slowly for that part. A sadistic feeling that doesn’t look sadistic, but deadly.
What should also be appreciated is Hayati Azis’s bold performance as Siti. Siti appears as a figure who looks willing to be ordered around, when actually she’s tough. Apart from the cat-and-mouse romance story with Reza’s character, Siti actually looks more prominent when she accompanies Karel. Likewise during her smoking scene with Josefien, which actually feels inappropriate between master and servant at that time.
Running 102 minutes, “Sweet Dreams” becomes a dream viewing that will satisfy. I love the festival film-style execution, which somehow slightly reminds me of the Malaysian horror film, “Tiger Stripes.” Although there’s no sense of historicity, I consider it a charming, sharp, and satisfying fantasy work. Love it!
