Berbekal semangat untuk tidak punya ekspektasi, film yang satu ini sebetulnya salah satu yang saya tunggu di tahun 2024 ini. Malang, saat perilisannya film ini babak belur dengan hujan kritikan yang berujung rasa penasaran saya. Apakah memang seburuk itu? Sekarang giliran saya seusai menyaksikan “Joker Folie a Deux,” yang ceritanya mau melanjutkan kesuksesan film pendahulunya, “Joker.”
Saat film baru dimulai, penonton malah dihadirkan kemasan kartun berwarna 40-an, yang kemudian menghadirkan karakter Joker versi kartun yang akan menyanyikan lagu klasik “What the Worlds Needs Now,” sekaligus bercerita akan masalah yang membuatnya terkurung dalam penjara Gotham.
Sedari sana, penonton baru disajikan dalam versi live action. Joker aka Arthur Fleck, diperankan oleh Joaquin Phoenix, ditahan yang padahal statusnya merupakan bintang. Akibat aksi yang dilakukan dalam versi kartun tersebut malah membawanya ke dalam gelapnya penjara, sampai akhirnya Ia bertemu dengan Harleen Quinzel, diperankan oleh Lady Gaga, yang merupakan seorang pasien di Arkham Hospital, yang juga jadi salah satu fasilitas kesehatan Joker. Entah kenapa, saya begitu terheran Harleen punya obsesi yang amat besar dengan sosok yang sebetulnya bukan sedang berada di kondisi puncak.
Film ini kembali disutradarai Todd Phillips. Rasanya, kesuksesan “Joker” yang berhasil menghadiahkannya Golden Lion, sekaligus Oscar untuk Aktor Terbaik bagi Joaquin Phoenix, amat terasa tak dapat dilanjutkan sekuel ini. Ambisi Phillips dalam menyajikan gelapnya Gotham sekaligus karakter Joker yang tak terduga, malah berujung jadi tontonan penuh musikal dengan lagu-lagu cinta klasik Amerika.
Jangan berharap untuk sesuatu yang mengagumkan. “Joker Folie a Deux” malah akan merugikan waktu Anda. Film ini tak punya cerita yang jelas, semuanya seakan diselingi dengan nyanyian-nyanyian, yang mungkin in the positive way, ini versi baru karakter DC bercerita. Awalnya saya berpikir demikian. Akan tetapi, seiring berjalannya cerita, saya memahami juga apa yang dikatakan orang-orang dengan film ini.
Untuk ukuran pengalaman menonton, sebetulnya penyajian adegan memang dikemas dengan secara berkelas bak Hollywood. Apalagi kalau bicara aktingnya. Saya merasa chemistry Phoenix dan Gaga amat menarik. Ini belum termasuk dengan penampilan Catherine Keener yang perlu mendapat sorotan sebagai pengacara Joker. Tapi sayang sekali lagi, saya rasa ini semua karena ekspetasi yang berbeda.
Sejujurnya, lagu-lagu yang dihadirkan juga tergolong lagu-lagu klasik favorit saya. Sebut saja, “For Once in My Life,” “Bewitched,” “To Love Somebody,” sampai “That’s Life.” Kesemua judul ini adalah all-time favorite yang sebetulnya dibawakan lumayan menarik dalam film ini. Akan tetapi, berhubung konteks ekspektasi yang menantikan drama ataupun ketegangan dari sosok Joker yang kita kenal, sama sekali tertutup dengan nyanyian-nyanyian, yang menurut saya bisa diwakili jika kita menyaksikan saja langsung rekaman konser hits Burt Bacharach ataupun konser Frank Sinatra.
Inilah yang membuat “Joker Folie a Deux” terasa jadi eksperimen gagal. Keinginan untuk mendapatkan cerita terasa tak tergapai. Sampai-sampai saya kurang fokus ketika film ini mau menyelesaikan tampilannya. Upaya akting Phoenix dan Gaga juga jadi tak bersinar. Untuk ukuran 138 menit, ini jadi tontonan tak terduga yang amat mengecewakan saya di tahun ini. Pada akhirnya, saya cukup sepakat jika “Joker Folie a Deux” memang seburuk itu. Bukan karena penyajian artistiknya, melainkan bagaimana film ini tidak memanfaatkan karakter Joker sesuai dengan ekspektasi penonton. Dan, karakter Joker yang amat berkesan itu harus hancur berkeping-keping jadi debu cuma gara-gara jadi musikal. Sayangilah waktu Anda.