Terinspirasi dari tragedi yang terjadi di Iran, menjadikan film yang satu ini terasa menarik untuk disimak. Mengusung judul “A Good Day Will Come,” film pendek ini sudah cukup gamblang untuk memberi kode jika ceritanya akan terfokus pada suatu penantian dan harapan.
Kisah diawali dengan memperkenalkan penonton dengan sosok Arash, seorang atlit Gulat asal Iran. Ditengah situasi politik yang tidak baik-baik saja, tidak menghentikan Ia untuk mewakilinya negaranya dalam kompetisi Gulat internasional. Ia pun kerap harus berhati-hati dengan pertanyaan jebakan dari para jurnalis yang kerap menanyakan kemana Ia akan berpihak.
Arash punya pendirian. Ia selalu berujar jika Ia akan berpihak pada masyarakat. Ia pun membuktikan akan prestasi sekaligus membawa nama harum negaranya. Masalahnya, saudari perempuannya yang bernama Mitra ikut rombongan protes. Anggota keluarganya pun hilang dan menyisakan kesedihan yang mendalam buat ibunya, yang diperankan oleh Shoale Shahbazi. Terlepas akan prestasinya, Arash pun berniat untuk melakukan perlawanan, namun dengan cara yang damai.
“A Good Day Will Come” merupakan film produksi Kanada yang bersetting di Iran, yang mengambil situasi pasca protes masyarakat Iran pada tahun 2017-2018. Sutradara sekaligus penulis naskahnya, Amir Zargara, ingin membawa semangat perlawanan tersebut dalam cerita yang sebetulnya cukup mengharukan. Karakter Arash yang sudah membawa nama harum bagi negeri ternyata tak mampu melawan rezim.
Membahas ceritanya, film ini sendiri menghadirkan kutipan penutup dari Navid Afkari, yang ternyata merupakan sosok yang menginspirasi karakter utama film ini. Afkari merupakan pegulat asal Iran yang kemudian dieksekusi di Shiraz pada tahun 2020 lalu. Ia dianggap telah bersalah akan pembunuhan seorang tentara pada aksi protes di tahun 2018. Bila melihat ceritanya, sosok Arash tidak menghadirkan kisah yang dialami Afkari, tetapi Ia seakan mewakili semangat Afkari.
Kondisi geopolitik yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja dalam beberapa tahun terasa cukup mewarnai dunia film dengan upaya propaganda yang kerap dilakukan satu pihak pada pihak lainnya. Yang menyakitkan, jika framing tersebut mendapat perhatian yang membuatnya cukup overrated. Hasilnya, saya menjadi penonton yang kurang terlalu berempati untuk menyaksikannya. Semua berkat cara berpikir yang menyimpulkan jika semua ini ada kepentingannya, bisa si kuat ataupun si kalah.
Lihat saja “20 Days in Mariupol” maupun “Navalny” yang membuat saya sampai bosan jika ada tontonan-tontonan sejenis ini. Ini bukannya tidak bersedih dengan kejahatan yang dilakukan. Bukan karena itu. Tetapi ini lebih kepada proses framing yang kerap menyalahkan satu pihak, dan selalu menganggap yang satunya benar. Padahal, jika ditilik kembali, sama-sama punya salah kan?
Pada “A Good Day Will Come,” konsep materi ini sebetulnya cukup jelas. Bicara akan kekuatan perlawanan masyarakat dengan penguasa. Cuma saja, yang kurang membuat film ini jadi standout dikarenakan kesan sedih yang kerap hadir dari awal sampai akhir. Saya rasa ini mungkin karena penggunaan musik yang membuatnya overpouring, sampai-sampai upaya heroik Arash jadi kurang terlalu berkesan.
Padahal, saya suka dengan semangat harapan yang diusung film ini. Termasuk dengan perlawanan cara damai yang seharusnya menginspirasi. Andai saja film ini dibangun dengan titik konflik ataupun adegan yang lebih menohok, saya rasa “A Good Day Will Come” akan jauh lebih powerful.