Ketika menyadari jika film ini diangkat dari kisah nyata, saya memutuskan untuk menyaksikan “Vina Sebelum 7 Hari.” Padahal, trailer film ini selalu menjadi pengisi ketika saya menyaksikan “Siksa Kubur” dan “Badarawuhi di Desa Penari.” Seiring dengan populernya kembali berita tentang Vina, pasti muncul rasa penasaran untuk terpanggil menyaksikan filmnya. Well, ini ulasan saya.
Suatu hari, Vina, diperankan oleh Nayla D. Purnama, mengunjungi Alun-Alun Kejaksaan bersama sahabatnya Linda, diperankan oleh Gisellma Firmansyah. Tak lama, hadir kemudian Zaki, diperankan oleh Yusuf Mahardika, yang merupakan teman Linda. Linda mendorong Vina agar Ia mau pulang ditemani oleh Zaki, yang ternyata sempat ada urusan untuk mengantar sesuatu. Malang, Vina dan Zaki diserang oleh geng motor yang mengikuti keduanya. Tragedi pun terjadi.
Cerita dalam “Vina Sebelum 7 Hari” ditulis oleh Dirmawan Hatta dan Bounty Umbara, yang mengadaptasi ceritanya dari keluarga Vina, dan ditambah dengan serangkaian bumbu-bumbu yang menjadikan tontonan ini sebagai suatu horor. Film ini kemudian disutradarai Anggy Umbara, yang sebelumnya juga sempat menyutradarai “Suzanna: Bernapas dalam kubur.”
Yang menyebalkan, saya sudah terlebih dahulu menyaksikan podcast Denny Sumargo, dalam episode yang menghadirkan keluarga Vina. Apa yang dibahas disana terasa lumayan detil, yang pada akhirnya tidak memberikan kejutan apapun ketika menyaksikan filmnya. Masih dalam ceritanya, ternyata ada beberapa hal yang tidak dimasukkan dalam cerita. Salah satunya adalah ketidakhadiran sosok Ekky yang merupakan kekasih Vina, yang pada versi layar lebarnya digantikan oleh karakter Zaki.
Yang lebih menyebalkan, “Vina Sebelum 7 Hari” malah justru membangun karakter Vina sebagai the next urban legend, lewat sosoknya yang mampu menyakiti manusia. Suatu kondisi yang menyedihkan, di tengah semakin meningkatnya simpati masyarakat dalam mendukung penyelesaian kasusnya yang terbengkalai. Adegan-adegan munculnya Vina dalam bentuk menyeramkan seakan menyadarkan bila arwahnya tak tenang, termasuk ketika Ia merasuki sahabat terdekatnya akan hal yang menimpanya.
Andai saja “Vina Sebelum 7 Hari” dikemas sebagai suatu tontonan tragis namun tak berbau horror, misalnya seperti “Tragedi Bintaro” ataupun “Arie Hanggara” justru akan lebih baik. Saya paham. Mungkin ini karena akan lebih mudah untuk membuat cuan, mengingat target penonton Indonesia yang cenderung menikmati genre horror. Memang, horror tak ada matinya di negeri ini.
Secara penyajian, apa yang dibawakan Anggy Umbara sebetulnya tidak buruk. Adegan yang dihadirkan terasa lumayan dinamis, ditambah dengan eksekusi penampilan yang terasa pantas untuk ukuran layar lebar. Dari segi penampilan, justru karakter Linda yang diperankan Gisellma Firmansyah, patut dapat pujian. Upayanya dalam mereka kembali kondisi Linda yang kerasukan, dengan kondisi mata yang serba putih, terasa mencengangkan. Belum lagi kehadiran aktris veteran Lydia Kandou yang berperan sebagai nenek Vina juga lumayan memainkan kisahnya.
Terlepas dari poin-poin kebaikan yang telah saya jelaskan, sayangnya “Vina Sebelum 7 Hari” terasa cukup berbahaya. Adegan sadis yang dihadirkan sebetulnya begitu mampu untuk memancing emosi penonton, tetapi juga mampu mendorong penontonnya yang punya pengalaman traumatis akan kekerasan, terutama kekerasan seksual. Malang, film ini tidak memberi tahu penonton jika film ini punya unsur kekerasan yang kuat, yang begitu penting untuk diberi tahu di awal film ataupun trailer-nya.
Alhasil “Vina Sebelum 7 Hari” tidak memberikan suatu pengalaman menonton yang mengesankan pada saya, mengingat tak ada suatu kejutan yang berarti dari ceritanya. Belum lagi penambahan serangkaian elemen horor dan versi yang tidak semirip kisah yang anda baca di media massa. Kesimpulannya, ya jika anda belum menyaksikan podcast ataupun wawancara keluarga Vina, “Vina Sebelum 7 Hari” bisa jadi tontonan horror tragis, yang mampu memancing emosi untuk memberikan keadilan akan Vina dan kasus pembunuhannya yang sampai kini masih terbengkalai. Sekali lagi ini membuktikan jika film adalah salah satu media terbaik dalam membangun propaganda.