Rasanya terlalu disayangkan bila MD Pictures tidak mau melanjutkan “KKN di desa penari” yang berhasil menyabet gelar film terlaris Indonesia sepanjang masa. Film selanjutnya diberi judul “Badarawuhi di desa penari,” yang menawarkan cerita dengan setting sama namun terjadi lebih dulu dari film sebelumnya. Pada versi kali ini, MD Pictures pun tak main-main. Mereka menggandeng Lionsgate sekaligus sutradara Kimo Stamboel dalam menghadirkan film yang digadang sebagai film Indonesia pertama yang dirilis dalam format IMAX.
Awal film akan membawa penonton ke periode 50-an. Desa penari sedang melakukan ritual tarian dalam memilih korban gadis berikutnya yang akan menjadi tumbal bagi sosok Badarawuhi, diperankan oleh Aulia Sarah, sosok penguasa daerah tersebut. Alih-alih berupaya menggagalkan tradisi tersebut, Mbah Putri, diperankan oleh Pipien Putri, mengutus Inggri muda, diperankan oleh Princeza Leticia, untuk kabur dari desa sambil membawa kalung lengan milik Badarawuhi.
Singkat cerita, setting kemudian ke tahun 1980, dimana Mila, diperankan oleh Maudy Effronsina, berencana untuk mengunjungi sebuah lokasi di ujung timur pulau Jawa. Semua dilakukannya demi memperbaiki kondisi Ibunya yang sedang sakit, diperankan oleh Maryam Supraba, yang mungkin dikarenakan sakit tak lazim. Dalam perjalanannya, Ia ditemani sepupunya yang bernama Yuda, diperankan oleh Jourdy Pranata. Juga ada Arya dan Jito, yang diperankan oleh Ardit Erwandha dan Moh. Iqbal Sulaiman, yang ikut menambah keramaian rombongan.
Prekuel ini disutradarai oleh Kimo Stamboel, yang sebelumnya menggarap “Rumah Dara.” Naskahnya ditulis oleh Lele Laila, yang juga menulis film sebelumnya, yang berasal dari adaptasi kisah dari SimpleMan. Sekilas, pengembangan seri ini ternyata terasa kurang terlalu kreatif. Formula cerita yang dihadirkan terasa agak serupa dengan film serupa, dimana nantinya penonton akan menyaksikan upaya perlawanan dengan Badarawuhi, dengan kemasan sekelompok pemuda-pemudi yang mengunjungi desa tersebut.
Padahal, “Badarawuhi di desa penari” memulai ceritanya dengan aksi yang cukup menarik. Aksi kejar-kejaran di kebun jagung pada malam hari, terasa begitu berkelas. Kesan yang lumayan berbeda ketika menyaksikan “KKN di desa penari.” Upaya menghidupkan setting agar lebih terasa periode tersebut juga amat terlihat. Misalnya saja ketika cerita memasuki masa 80-an, rambut pemain pun disesuaikan dengan gaya tren masa itu. Belum termasuk dengan bus antar daerah, ataupun selebaran iklan gaya lawas yang mewarnai adegan.
Sayangnya, ekpektasi yang begitu besar akan film ini lebih dikecewakan dari segi ceritanya. “Badarawuhi di desa penari” ternyata tidak memenuhi dugaan saya yang mengira jika film ini akan berbicara tentang sosoknya. Alhasil, malah cerita horror yang lebih mengeksplorasi kondisi desa penari dengan bagian yang sama persis, ular dan penduduk gaib, yang sudah banyak diperlihatkan di film sebelumnya. Sebagai film yang sama-sama dirilis saat lebaran, poin inilah yang saya rasa membuat “Siksa kubur” jauh lebih baik, fresh, dan gelap. Padahal, aksi menakutkan yang dihadirkan film ini jauh lebih membuat jantung penonton berdetak cepat.
Yang saya sukai dari film ini adalah sosok Badarawuhi itu sendiri. Aulia Sarah yang memerankan karakternya hadir dengan begitu elegan. Sosok antagonis yang cantik, yang menurut saya tidak seram, namun amat memikat dengan gaya ucapannya yang lembut. Sosok ini tentu amat kontras dengan sosok Ibu dalam “Pengabdi setan” ataupun Suzanna, yang lebih menonjolkan rasa seram, sehingga membuat kita terngiang-ngiang. Yang disayangkan, di film kali ini Sarah terlihat tidak perlu terlalu menonjolkan karakternya, mengingat character difficulty yang dirancang tidak sulit, sehingga terasa tak ada effort yang berarti.
Sosok yang saya rasa legend dalam film ini adalah sosok Mbah Buyut, yang diperankan Diding Boneng. “Badarawuhi di desa penari” justru lebih banyak bercerita tentang sosoknya, walaupun sebetulnya hilang di hampir sebagian ceritanya. Sosok Mbah Buyut yang menggunakan pakaian serba hitam, sekaligus menjadi pelindung desa, justru lebih menarik disimak, ketimbang karakter utama ceritanya.
Secara alur, film ini juga memberikan banyak ketidakjelasan. Misalnya saja, ketika Badarawuhi yang terasa memberikan voor pada Mila, yang sebetulnya bisa lebih tidak mampu mengendalikan dirinya. Saya sebetulnya terasa agak cukup menyayangkan ketika Badarawuhi yang ceritanya amat powerful, masa tidak aware dengan upaya perlawanannya. Pada contoh lain ketika Ia sengaja tidak memaksa untuk membiarkan Inggri muda membawa kabur barang miliknya keluar desa.
Komposisi penokohan ceritanya juga terbilang serupa pada film sebelumnya. Disini, karakter Yuda, Jito dan Arya berhasil menjadi peramai tak berguna, yang punya sesi adegan yang sebetulnya bila dibuang tidak akan terlalu signifikan akan esensi ceritanya. Saya amat berharap jika franchise ini dilanjutkan, ada baiknya untuk memikirkan format formula yang berbeda. Hal inilah yang memberikan kesan kurang kreatifnya dalam pengemasan ceritanya, dan seraya membuat kita berpikir jika film ini mungkin lebih menargetkan hype agar bisa sebesar sebelumnya.
Adegan tarian dalam sarang Badarawuhi, yang menjadi salah satu titik klimaks film ini juga kurang begitu dikemas dengan baik. Penggunaan banyak penari, yang memperkenalkan tarian Indonesia pada dunia, dihadirkan kurang kompak. Sedikit saya sesalkan, andai saja bisa lebih kompak, padahal ketika adegan penyiksaan Ibu Mila, terasa cukup menarik disimak.
Akhir kata, apakah “Badarawuhi di desa penari” hadir sebagai horror yang menghibur. Saya akan menjawab ‘iya,’ film ini digarap dengan amat apik, walaupun amat kurang dalam penggarapan cerita dan karakterisasi tokohnya. Yang perlu jadi pertanyaan adalah jika film ini akan berlanjut, apakah masih akan menggunakan formula yang sama? Saya berharap agar tidak terjebak layaknya franchise-franchise horror yang pada akhirnya lebih butuh duit, kurang kreativitas, dengan tawaran cerita seadanya. We’ll see…