Melawan tidak harus dengan cara yang kasar. Itu yang coba dihadirkan “Blue Imagine,” sebuah film produksi Jepang, Filipina dan Singapura, yang akan mengungkap kekerasan seksual yang terjadi dalam industri film di Jepang. Hasil ini adalah salah satu imbas fenomena #MeToo, yang pernah diangkat “She Said,” dan kini menyambar negeri matahari terbit ini.
“Blue Imagine” diceritakan sebagai sebuah tempat aman dimana perempuan-perempuan akan saling berbagi akan pengalaman pahit. Salah satunya adalah Noel, diperankan oleh Yamaguchi Mayu, yang mengaku jika Ia mengalami kekerasan seksual 2 tahun yang lalu dari seorang sutradara yang bernama Minoru, yang diperankan oleh Shinsuke Kato. Noel yang kala itu rajin mengikuti workshop dari sang sutradara, amat berupaya untuk dapat menjadi pemain dalam film terbaru garapan sutradara tersebut. Malang, sang sutradara mendapatkan tubuhnya, dan Noel juga tak mendapatkan peran.
Ternyata, tak hanya Noel yang mengalami hal ini. Dengan berbekal girls power, beberapa perempuan lain mengusulnya agar Noel mau mengungkap. Kutipan yang teringat jelas untuk Noel jikalau tanpa sebuah pengungkapan, Ia tak akan dapat mengubah status quo-nya. Noel hanya akan tersiksa dan trauma akan pengalaman pahitnya. Sampai suatu ketika, Noel mantap untuk mengungkap tanpa berpikir jika prosesnya tidak akan semudah itu.
“Blue Imagine” merupakan directorial debut dari aktris Urara Matsubayashi. Ceritanya sendiri digarap oleh Minami Goto, yang juga menjadi produser film ini. Melalui sesi tanya jawab di Ho Chi Minh City International Film Festival, “Blue Imagine” merupakan sebuah semangat yang berupaya mewakili suara perempuan dari industri hiburan di Asia, yang kerap hanya diam. Ceritanya sendiri juga terinspirasi dari pengalaman Matsubayashi yang juga merupakan korban kekerasan seksual. Akan tetapi, menurut Matsubayashi, Ia perlu memasukkan banyak karakter perempuan dalam film ini, guna menyajikan ragam sudut pandang bagi penontonnya.
Poin sudut pandang ini yang amat begitu terasa. Penonton akan menyaksikan bagaimana berbedanya pandangan para perempuan yang menjadi korban. Ada yang menikmatinya demi iming fasilitas, tetapi ada yang tidak mau sama sekali. Tak hanya perempuan, “Blue Imagine” juga mengangkat sosok pelecehan yang juga menimpa seorang pria bernama Dan, yang diperankan oleh Hayashi Yuta. Menariknya lagi, film ini membandingkan akan bagaimana berbedanya resolusi ketika kekerasan seksual terjadi para pria.
Ketika menyaksikan film ini, sebetulnya rasa menarik muncul ketika film mulai memasuki bagian konflik puncak. Pada bagian awal, “Blue Imagine” terasa biasa saja, tak begitu banyak untuk artistik yang patut dipuji. Setelah konflik puncak terjadi, saya baru merasakan bagaimana kekuatan film ini berupaya bersinar hingga akhir. Dan ya, “Blue Imagine” melakukan cara yang terasa tepat untuk menutup kisahnya. Rasa solidaritas akan sesama korban, ternyata membuat mereka untuk saling menguatkan. Hal inilah yang membuat jikalau karakter Noel tentunya tidak akan dominan.
Film ini sebelumnya telah dirilis melalui program Bright Future pada International Film Festival Rotterdam. Mengusung tema yang memang masih hangat di Jepang, namun sudah tidak di dunia Barat, tetap memberikan kesan bahwa film ini perlu diperhitungkan. Saya pikir jika ini terjadinya hanya pada industri di Korea Selatan. Ternyata pahitnya, dimana-mana di Benua Asia tercinta.
Upaya Matsubayashi menghadirkan “Blue Imagine” sejatinya harus mempertegas bagaimana para korban kekerasan seksual, baik wanita maupun pria, amat penting untuk mengungkap kejahatan yang mereka alami. Demi menjaga sehatnya industri, dan juga para penjahat kelamin yang berdalih dengan kekuatan mereka. Layaknya warna biru yang kerap diasosiasikan dengan ketenangan, “Blue Imagine” berupaya berjuang dengan cara halus yang menenangkan, tetapi mampu menenggelamkan.
