Di Indonesia, cerita tentang para indigo yang mampu menjadi medium sudah jadi tontonan yang biasa untuk generasi saat ini. Apalagi, mengingat suguhan ini punya segmen tersendiri di platform Youtube, misalnya. Kisah-kisah tentang para arwah pun kadang punya pelajaran yang bisa dipetik buat mereka yang masih hidup. Kali ini, aksi bermain dengan arwah dilakukan dan dihadirkan dalam “Talk To Me,” melalui kemasan amatiran berujung malapetaka.
Cerita dalam “Talk to Me” awalnya terasa tidak memperlihatkan jika ini adalah sebuah film horror. Film diawali seorang pria yang bernama Cole, diperankan oleh Ari McCarthy, yang mencari adiknya di sebuah pesta malam remaja. Adiknya, Duckett, diperankan oleh Sunny Johnson, ditemukannya secara misterius. Duckett yang seakan dikuasai iblis, tak segan menyerang abangnya. Ia pun menyudahi hidupnya setelah itu.
Keanehan ini berasal dari sebuah pajangan tangan, yang terbuat dari keramik, dan dipenuhi dengan tulisan-tulisan. Pajangan ini punya kekuatan yang menarik. Bila disentuh, seseorang dapat melihat arwah yang dipanggilnya, dengan memulai ucapan ‘talk to me.’ Setelah itu, seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut akan bertemu dengan arwah, dan jika Ia siap, Ia mempersilahkan sang arwah merasukinya dengan ucapan ‘I let you in.’
Aksi ini ternyata menjadi heboh. Para remaja dengan tidak sewajarnya merekam aksi teman-teman mereka yang menjadi medium, dan menggugahnya di media sosial. Media sosial pun dipenuhi aksi mereka yang sedang terasuk. Sama seperti permainan lainnya, pajangan tangan ini juga punya aturan main. Mereka yang bermain tidak boleh dirasuk lebih dari 90 detik. Jika lebih, maka mereka secara tidak langsung menyerahkan nyawa mereka.
Cerita kemudian membawa kita ke sebuah keluarga kecil, hanya berisi seorang Ibu dan kedua anaknya. Putrinya yang tertua, Jade, yang diperankan oleh Alexandra Jensen, sedangkan sang adik laki-laki, bernama Riley, diperankan oleh Joe Bird. Kala itu rumah mereka didatangi Mia, diperankan oleh Sophie Wilde, sahabat Jade. Mia baru saja terkena tragedi. Ibunya diketahui bunuh diri akibat terlalu banyak memakan pil tidur.
Di suatu malam, Jade dan Mia ingin mengunjungi suatu acara malam dengan kawan-kawannya. Ia pun membawa Riley. Dalam pertemuan itu, ternyata remaja-remaja ini akan bermain permainan pajangan tangan itu. Mia yang problematik menawarkan dirinya menjadi tumbal pertama di malam itu. Walaupun terbilang sebagai sebuah aksi yang ekstrim, para remaja ini malah jadi ketagihan.
“Talk to Me” merupakan debut dari sutradara Danny Philippou dan Michael Philippou. Danny juga menulis ceritanya bersama Bill Hinzman dan Daley Pearson. Secara penggarapan, film yang bersetting di Australia ini menyuguhkan suatu tontonan yang cukup menyeramkan. Bila hanya sekilas, “Talk to Me” terasa horror yang biasa saja, padahal ini tontonan horor yang tidak biasa.
Jika film-film horor Barat biasanya cukup membawa penonton dengan kesan cerita survival, “Talk to Me” berangkat dengan cara yang lain. Penonton tentunya akan dibuat untuk jadi cukup emosi dengan pengembangan karakter Mia, yang tentu akan bikin geleng-geleng. Ceritanya tidak seperti “The Conjuring,” “Insidious,” ataupun “The Exorcist.” Film ini sekilas layaknya film “Jelangkung” dalam versi yang lebih sadis dan modern.
Yang saya sukai dari “Talk to Me,” Ia memicu adrenalin penonton dengan adegan tak terkira. Biasanya, saya sudah ancang-ancang jika suatu adegan akan menghadirkan jumpscare. Bedanya, film ini menyajikan suasana yang tak terkontrol dari sebuah aksi kerasukan. Apalagi, penyajian makeup dan visual para arwah bisa dikemas amat mengerikan. Sebuah poin tambahan keunggulan film ini.
Film yang didistribusikan oleh A24 ini terbilang cukup menjanjikan. Apalagi semenjak keberhasilannya, yang tentu bakal memicu potensi sekuel-sekuel moneymaker layaknya franchise horor sebelumnya. Yang pasti, “Talk to Me” amat berpotensi untuk jadi rekomendasi tepat di malam horor kalian. Film ini kembali menegaskan bahwa tidak ada kata main-main jika ingin bermain dengan iblis.