Istilah zona nyaman sering dikaitkan sebagai suatu hal yang berbahaya. Padahal, banyak diantara kita ingin nyaman. Tak punya masalah, semuanya berada di dalam kendali. Kali ini, sebuah drama berjudul “Chaperone,” akan membawa penonton pada kisah Misha, sosok si paling nyaman.
Definisi si paling nyaman ini tidak berarti sebagai seseorang yang mampu memberikan kenyamanan. Akan tetapi, ini lebih dimaksudnya sebagainya Ia yang sudah terlalu nyaman dengan kehidupannya. Ia adalah Misha, diperankan oleh Mitzi Akaha, seorang perempuan 29 tahun yang sehari-sehari bekerja di sebuah teater lokal di Hawai. Di teater tersebut, Ia bekerja bersama saudarinya, Kenzie, diperankan oleh Jessica Jade Andres.
Misha diceritakan hidup seorang diri. Ia menikmati rumah tua peninggalan sang nenek, dan hidup ditemani Princess Diana, kucing tua yang dipeliharanya sejak kecil. Saudarinya Kenzie, sudah menikah dan punya dua orang anak. Ia juga memiliki seseorang saudara bernama Vik, diperankan oleh Kanoa Goo. Bedanya, Vik mengelola sebuah toko gelato kecil. Menariknya, Misha diceritakan layaknya penghubung antara Vik dan Kenzie.
Suatu sore, Misha memutuskan untuk berbelanja di supermarket. Ia mengenakan kaus SMA-nya. Tanpa Ia sangka, seorang laki-laki bernama Jake, diperankan oleh Laird Akeo, menghampirinya. Malam sebelumnya, Jake sempat berbincang dengan Misha ketika Ia akan membeli tiket di teater. Jake yang terlihat sedang melakukan pekerjaan sampingannya ini kemudian nekat untuk merebut hati Misha. Laki-laki berusia 19 tahun ini dengan gencar memesona Misha dengan sifat dewasa yang Ia perlihatkan. Misha pun masuk dalam babak baru dalam hidupnya yang menjadi ujian dirinya akan zona nyamannya selama ini.
“Chaperone” adalah sebuah drama yang ditulis dan disutradarai Zoe Eisenberg. Sebagai first featured film arahannya, Eisenberg akan membawa penonton dalam setting yang jelas: Hawaii masa kini. Melihat dari penyajian ceritanya, penonton akan menikmati detil demi detil kecil yang sebetulnya akan saling memuncak pada timing yang sama. “Chaperone” sendiri sebetulnya bergerak cukup lambat di awal. Mungkin maksud Eisenberg agar penonton dapat memahami sebagaimana sosok Misha yang sebenarnya.
Film yang dirilis di Slamdance Film Festival tahun 2024 ini terbilang cukup menarik, seiring berjalannya cerita. Saya mulai menyukai ketika jalinan benang demi benang dari kehidupan Misha mulai semakin kusut, dan punya puncak klimaks yang meyakinkan. Sampai akhirnya saya menjadi penasaran pada akhirnya. Well, “Chaperone” jadi tontonan yang tidak terduga.
Apa yang diangkat dalam “Chaperone” terasa relatable bagi mereka yang sedang berada dalam zona nyaman. Film ini memperlihatkan bagaimana situasi yang sudah menikah pun belum bisa mencapai ‘zona nyaman’ mereka, terbukti dari kehidupan Kenzie yang terlihat oke-oke saja. Kenyamanan tersebut berujung membangun karakter Misha untuk tidak mengejar hal yang lebih, apalagi mau berpikir untuk mencari pasangan lagi. Padahal, karakter Vik, yang seakan sering dipermasalahkan, malah terasa lebih baik-baik saja darinya.
Bagian yang paling tidak saya sangka ketika karakter Jake masuk ke dalam cerita. Awalnya, saya akan mengira jika “Chaperone” akan jadi sebuah film romansa. Ternyata tidak. Kisah percintaan Jake dan Misha malah akan membuat jalinan benang kehidupan Misha semakin kusut. Misha hidup dalam serangkaian salah paham yang berujung fatal, pada akhirnya.
Secara penyajian, saya lumayan menikmati bagaimana “Chaperone” dihadirkan. Saya suka bagaimana film ini menipu saya, seperti memulai ceritanya secara flashback. Saya juga menyukai cara penyajian di awal yang terasa artistik, misalnya potongan-potongan kesibukan ketika Misha mulai menghidupkan teater. Ada beberapa adegan dalam film ini yang terekam dalam memori saya cukup menarik. Salah satunya ketika Misha yang sedang mengendarai mobilnya yang sedang dicoret dengan tulisan ‘Psycho’ berhenti di depan toko gelato milik Vik.
Aspek musik dalam “Chaperone” juga jadi faktor penting lain yang membangun kedalaman ceritanya. Saya menyukai bagaimana peran suara keramaian sering dikombinasikan dengan musik dari film ini. Musik yang dihadirkan Taimane terasa cukup kuat seakan mentransfer apa yang dirasakan Misha ke kursi penonton.
Cerita cinta yang memang tidak se-ekstrim “May December” ini juga kadang hadir dengan manis. Misalnya ketika Jake dan Misha melakukan hiking yang berujung berenang di air terjun, sampai keduanya yang bercinta di halaman. Sepintas, penggambaran Misha sedikit mengingatkan saya dengan perawakan Sally Hawkins dalam “Happy-Go-Lucky,” cuma saja Misha memang tidak se-cheerful itu. Ia cenderung lebih tertutup.
“Chaperone” pada akhirnya menawarkan cerita yang lumayan tak terduga. Pengembangan karakter Misha terasa dikembangan dengan baik, dan membawa penonton layaknya bak observer dirinya dan zona nyamannya. Dalam pandangan saya, tak ada yang salah sebetulnya ketika kita berada dalam zona nyaman. Cuma saja, perlu kembali ditinjau, apakah kita jadi seseorang yang jadi semakin egois atau melakukan alienasi layaknya Misha? Sebagai salah satu suguhan awal dari tahun 2024, “Chaperone” jadi tontonan yang tak cuma terduga, tapi jadi reflektif keras untuk mengukur seberapa nyamankah kita; apakah kenyamanan ini sebetulnya secara tak langsung mengusutkan jalinan-jalinan benang kehidupan yang sudah disusun? Nice!