Ketika seorang aktor sedang memerankan sosok tokoh yang masih hidup, pasti akan jadi jaminan jika media akan membandingkannya dengan versi aslinya. Hal ini yang menjadi tantangan besar, walaupun sebetulnya penggambaran tersebut tidak harus selalu serupa. Kali ini, melalui “May December,” penonton akan dibawa ke sebuah investigasi sang aktris memahami sosok yang akan diperankannya.
Gracie, diperankan oleh Julianne Moore, tengah bersiap untuk menyelenggarakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Tak lama kemudian, hadir sosok Elizabeth, yang diperankan oleh Natalie Portman. Kehadiran Elizabeth terasa cukup spesial bagi anggota keluarga Gracie, mengingat Ia merupakan seorang aktris ternama. Elizabeth pun berkenalan dengan Joe Yoo, diperankan oleh Charles Melton, suami Gracie yang usianya terpaut jauh.
Perkenalan ini semata-mata didasari karena Elizabeth ini lebih mengenal Gracie. Saking meyakinkannya, Ia membuat serangkaian pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu Gracie. Ia pun juga hadir dalam setiap kegiatan sehari-hari keluarga unik ini. Tanpa sepengetahuan Gracie, Elizabeth pun mulai menyusuri lokasi-lokasi kejadian sampai akhirnya Ia pun luput kelewat batas.
Sebelum terlalu jauh, Gracie merupakan seorang perempuan yang sempat membuat media massa heboh di awal periode 90-an. Ia yang sudah berusia 36 tahun melakukan hubungan gelap dengan anak lelaki berusia 12 tahun, yang kini sudah menjadi pasangan hidupnya selama 24 tahun. Mereka sendiri sudah memiliki tiga orang anak. Honor, diperankan oleh Piper Curda, adalah anak tertua yang sudah berada di college. Dua sisanya adalah kembar Charlie dan Mary, diperankan oleh Gabriel Chung dan Elizabeth Yu, yang ceritanya baru saja mau lulus dari high school.
Bila anda menyadari, sebetulnya sosok cerita Gracie dalam film ini terinspirasi dari kasus Mary Kay Letourneau, yang pada versi aslinya hamil dengan muridnya sendiri. Walaupun “May December” mengambil setting dan nama yang berbeda, film yang ditulis oleh Samy Burch dan Alex Mechanik ini terasa cukup dimodifikasi jadi tontonan yang berkelas. Pengembangan cerita berbasis pendalaman karakter sang aktris ternyata memicu serangkaian fakta yang akan dipahami Elizabeth dan penonton.
Sekilas, apa yang ditawarkan “May December” mungkin akan terasa hambar. Akan tetapi, film yang menggandeng Todd Haynes sebagai sutradara, berhasil menyulapnya jadi sebuah sajian berlapis-lapis penuh misteri. Dari segi cerita, saya menyukai bagaimana pengembangan karakter Elizabeth, yang kian lama terasa mulai merasa seperti Gracie, berkat segala rasa keingintahuannya. Di sisi lain, hubungan Elizabeth dan Gracie dihadirkan cukup sensual, yang mengingatkan saya dengan karya Haynes sebelumnya, “Carol.” Kesan intense yang mendalam selalu terasa ketika kedua karakter ini muncul dalam frame yang sama.
Secara alur, kisah film ini terasa lumayan cukup panjang. Berdurasi hampir 2 jam, “May December” akan membuka lapis demi lapis ceritanya dengan menarik. Penonton pun akan menikmati ceritanya dengan terfokus pada sudut pandang Elizabeth, dan mungkin akan berpikir seperti perspetif tersebut, seperti yang saya lakukan. Penceritaan ini dikemas dengan musik yang cukup meneror, tapi sebetulnya berhasil dalam membangun emosi ceritanya. Cuma saja, aspek musik yang dihadirkan ini mengingatkan sama dengan drama-drama televisi buat saya.
Selain aspek penyutradaraan yang menonjol, tentu ensemble cast sudah tidak perlu diragukan. “May December” menggandeng Natalie Portman dan Julianne Moore, dua aktris pemenang Oscar yang tentunya menjadi jaminan jika ini bukan drama kaleng-kaleng. Faktanya, dari apa yang saya saksikan, Portman dan Moore mengingatkan saya juga sepintas dengan Bibi Andersson dan Liv Ullman dalam “Persona.” Yup, film buatan Ingmar Bergman tahun 1966 ini juga menjadi salah satu inspirasi Haynes saat penggarapannya.
Sebagai unggulan Netflix dalam musim penghargaan tahun ini, “May December” sebetulnya akan cukup mengamankan beberapa slot nominasi, termasuk untuk Best Picture, Best Director, serta Best Actress in Leading Role untuk Portman dan Moore. Saya sendiri cukup setuju bila “May December” perlu diperhitungkan sebagai salah satu drama terbaik di tahun ini.
Akhir kata, “May December” terasa mencoba melihat dari sudut yang berbeda. Ia seakan menormalkan kondisi ekstrim buat kebanyakan orang. Setelah menyaksikan film ini, saya pun berdalih jikalau apa yang dilakukan Gracie dan Joe lebih berdasarkan keinginan keduanya, bukan seakan-akan membawa Joe ke dalam posisi korban dan Gracie pelakunya. Mengutip kembali kata Gracie, “Who was the boss? Who was in charge?” Jadi, belum tentu karena Ia yang muda, dianggap vulnerable, dianggap tidak ikut bersalah? Bagaimana menurut Anda?