Sudah bukan cerita baru lagi, dengan kontribusi para pekerja imigran kita pada negeri ini. Data terakhir menunjukkan kalau pekerja migran Indonesia menyumbang devisa sampai 159 triliun Rupiah. Jumlah yang fantastis. Walaupun mirisnya, media juga membahas tentang kekerasan yang kerapkali terjadi. “Minggu Pagi di Victoria Park” menjadi terasa menarik, sebab Ia hadir untuk memperlihatkan yang kadang tidak terlihat oleh media.
Cerita film ini berawal dari Mayang, yang diperankan oleh Lola Amaria, yang memutuskan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Hong Kong, berkat paksaan sang ayah. Tujuan utamanya bukan untuk mencari duit. Tepatnya, mencari sang Adik, Sekar, yang diperankan oleh Titi Rajo Bintang, yang tidak jelas kemana. Maklum, akibat Sekar menjadi TKW di Hong Kong, sang Ayah bisa perbaiki rumah, punya cicilan motor, dan lebih sejahtera. Sedangkan Mayang, yang hanya sehari-hari bekerja di ladang, tidak di lirik sedikitpun. Membalas salam pun sang ayah ogah.
Sesampai di Hong Kong, Mayang bekerja sebagai pembantu dan mengurus anak majikannya yang bernama Sei Jun, diperankan oleh Chung Sui To. Sehari-hari, sambil membawa Sei Jun ke sekolah sambil berjalan kaki, Ia kadang bertemu dengan rekan sejawatnya, Sari, diperankan oleh Imelda Soraya. Adanya Sari ternyata cukup membantu Mayang. Ia membawa Mayang ke tempat-tempat orang Indonesia berkumpul, salah satunya di Warung Bu’ De.
Warung Bu’ De ternyata menjadi tempat pertemuan Mayang dengan Bapak seluruh TKW di Hong Kong, Gandhi, yang diperankan oleh Donny Damara. Ia juga sekilas berpapasan dengan Vincent, diperankan oleh Donny Alamsyah, yang merupakan seorang pedagang dan juga rekan Gandhi. Disaat yang sama, kumpulan orang-orang Indonesia ini sebetulnya juga punya misi untuk mencari Sekar.
“Minggu Pagi di Victoria Park” disutradarai oleh Lola Amaria, yang merupakan film panjang keduanya setelah “Betina.” Dari segi penyajian, film yang hampir sebagian besar diambil gambarnya di Hong Kong ini, akan membawa kita ke dalam suasana kota padat nan modern. Ceritanya sendiri ditulis oleh Titien Wattimena, penulis skenario kenamaan Indonesia yang karyanya waktu itu sudah sering mendapatkan nominasi Piala Citra, seperti “Mengejar Matahari,” dan “Tentang Dia.”
Dari segi penceritaan, saya merasa apa yang dihadirkan film ini seperti berasal dari kumpulan cerita-cerita pengalaman para TKW, yang kemudian diringkas lewat sosok-sosok karakter yang ada di sekitar Mayang. Mulai dari Sekar, Menuk, Sari, Yati, dan Tuti; yang punya beragam kisah. Ada yang bangkrut, kejepit hutang, ketipu pacar karena terlalu bucin, sampai memutuskan mengakhiri hidup. Observasi ini juga terasa menarik ketika film ini memberi tahu pada kita jikalau para TKW disana hidup terpisah-pisah, arus informasi ternyata berjalan sangat cepat diantara mereka.
Baiknya, film ini terbilang diperankan dengan amat baik. Terutama, pada karakter Sekar. Titi Rajo Bintang benar-benar membangun suasana hati saya menjadi campuraduk, di satu sisi gemas dengan pengambilan keputusannya, di satu sisi terenyuh dengan permasalahannya. Cuma ya, terlepas dari penampilan ansambel lainnya yang baik-baik saja, saya merasa cara Donny Damara hadir di film kadang menampilkan ekspresi yang berlebihan, terutama dari dialog-dialog Gandhi yang kadang terasa dominan.
Dikemas dalam 97 menit, “Minggu Pagi di Victoria Park” ini memang baru terasa mudah saya nikmati setelah masuk ke bagian tengah cerita. Sambil menyusun potongan-potongan cerita, berhubung ada banyak karakter disini, saya menikmati bagaimana film ini membangun rasa penasaran saya, terutama ketika mulai memperlihatkan kisi-kisi akan hubungan Mayang dan Sekar yang tidak harmonis.
Aspek musik yang digarap Aksan Sjuman dan Titi Rajo Bintang sebetulnya adalah yang paling mencolok buat saya. Ketengangan yang dihadirkan lumayan terasa, walaupun ini bukanlah sebuah thriller. Ini belum termasuk pada adegan-adegan dramatis di film ini. Yang mengejutkan adalah ketika adanya Kangen Band yang hadir di bagian akhir film ini. Mereka menjadi artis pengisi acara minggu pagi di Victoria Park untuk versi film ini.
Bila kembali ke masa film ini dirilis, sebetulnya “Minggu Pagi di Victoria Park” sempat mendapat perhatian pada Film Festival Indonesia. Film ini mendapatkan nominasi untuk Film Bioskop Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Skenario Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik. Penghargaan Citra hanya berhasil diterima Aline Jusria untuk kategori Penyunting Gambar Terbaik. Fakta menariknya, Aline juga bermain di film ini sebagai Menuk.
Buat saya, “Minggu Pagi di Victoria Park” terasa sebagai sebuah tontonan yang berbobot. Film ini setidaknya memperlihatkan kita bagaimana potret kehidupan para pekerja imigran kita disana. Walaupun seringnya mendengar berita tentang masalah majikan dan bawahan, film ini justru membahas dinamika yang lain, yang mungkin tidak terasa menarik buat para pembuat berita.