Berbekal rasa penasaran akibat teaser yang muncul pada televisi saya, akhirnya saya harus menunda beragam watchlist saya dengan film yang satu ini. Sebagai salah satu sajian original Amazon Prime dari Filipina, “Ten Little Mistresses” mengangkat kisah tentang 10 simpanan yang dikejutkan dengan tragedi yang sama sekali tidak akan terduga.
Okay, sebagai pecinta film musikal, saya menyukai bagaimana cara film ini membuka ceritanya. Sosok karakter utama, Lilith, yang diperakan oleh Eugene Domingo, hadir sebagai pemimpin dari serombongan pelayan yang memakai kostum putih. Mereka menyanyikan lirik yang diawali dengan judul film. Lilith, yang hadir dengan scarf biru yang menjuntai, tampak terlihat sebagai the butler.
Nyanyian tersebut ternyata berlanjut dengan upaya rombongan pelayan ini untuk mempersiapkan kedatangan tamu-tamu penting. Singkat cerita, tamu-tamu tersebut adalah sepuluh orang perempuan yang merupakan simpanan seorang kaya, yang juga duda, bernama Don Valentin, yang diperankan oleh John Arcilla. Hebatnya, Valentin mengumpulkan ke sepuluhnya seiring dengan persaingan masing-masing diantaranya.
Sepuluh perempuan ini hadir dengan karakterisasi yang jelas. Nama-nama dan style yang khas, terasa cukup membuat akan ‘mampu’ untuk menghafal nama mereka. Sebut saja: Because, Moon Young, Lady G, Helga, Diva, sampai Babet. Setiap perempuannya punya typical yang terasa sama: materialistis, heboh, dan tentunya ‘murahan.’
Sutradara Jun Lana, yang juga menggarap ceritanya, sebetulnya akan membawa penonton ke dalma sebuah situasi seperti film-film ber-genre whodunnit, layaknya menyaksikan ‘Knives Out’ ataupun “Murder on the Orient Express.” Disini, yang membedakan adalah tak adanya karakter detektif di dalam ceritanya. Penonton hanya cukup menikmati bagaimana para pemain mencoba menyelesaikan misteri pembunuhan yang terjadi.
Selain dengan karakterisasi yang gamblang, ataupun premis yang terasa unik, Lana juga cukup aktif dalam menyisipkan kesan komedi lokal, yang mungkin akan lebih relatable dengan penonton Filipina. Misalnya saja ketika salah satu karakternya yang menganalisis akhirnya banyak menyaksikan Sherlock Jr. versi Filipina, ‘Dora’ racun tikus yang dikaitkan dengan animasi ‘Dora the Explorer’ sampai bau deodorant ‘fresh peppermint with a hint of ripe cucumber and juniper berries.’ Menariknya, film ini juga secara explicit menyentil penonton tentang budaya patriarki yang dihadirkan, sampai rise of women spirit, yang sayangnya terasa sebagai selingan.
Ngomongin alurnya, film ini terasa cukup banyak kejutan. Saya terbilang cukup tidak menyangka bagaimana cara menghadirkan kisah yang kurang lebih 3x dibolak balik penonton. Memang sih, kalau dianalisis lebih mendalam, ada beberapa hal yang menjanggal. Tetapi, setidaknya, “Ten Little Mistresses” sudah terasa begitu menghibur, sehingga saya mudah mengabaikannya.
Dari aspek sinematografi, film ini sebetulnya punya pengambilan shot-shot menarik. Apalagi dengan konsep villa besar, yang sekilas mengingatkan saya sama setting dalam “Glass Onion.” Bedanya, disini karakterisasi juga orang kaya, yang memang tidak memiliki kualitas teknologi selayaknya di franchise ‘Knives Out’ itu. Sayangnya, tone color yang dipakai film ini berhasil mendukung aspek glamour yang mau dihadirkan. Untuk beberapa suasanya, kesan dreamy yang lebih cenderung dominan ketimbang kesan gemerlap.
Kenapa menurut saya perlu lebih gemerlap? Semua ini didasari atas bagaimana penyajian kostum film ini yang menurut saya sangat quirky, tapi unik, dan mungkin berpotensi untuk menjadi sebuah kultus nantinya. Jika Anda sadari, film ini menyajikan lebih dari 10 kostum khusus para simpanan yang terasa layaknya designer gowns, dengan ciri khas yang jelas.
Dari penyajian setting, sebetulnya film ini memperlihatkan kesan minimalisnya, yang terasa dari rumah besar yang terasa kurang banyak item-nya. Tapi, menurut saya, film ini terasa cukup memanfaatkan dengan baik dari segala keterbatasannya ini.
Walaupun tidak terbilang sebagai film yang menjual keseksian, film ini punya cast yang cantik-cantik, yang hadir dengan amat meyakinkan dari kehebohan mereka masing-masing. Saya amat menikmati bagaimana pertikaian kecil, keremehan issue, sampai aksi adu mulut diantara mereka. Cuma yang patut dipuji adalah bagaimana kontribusi masing-masing karakter yang masih cukup dibagi-bagi dengan sewajarnya. Hal ini terasa cukup penting, mengingat perlu ada yang menonjol dari setiap karakter. Walaupun perlu diakui, kadang terasa cukup lebay.
Sayangnya, pada beberapa scene, upaya pembagian jatah ini terasa kurang natural. Misalnya ketika adegan kesepuluh simpanan ini sedang mengobrak-abrik ruangan kantor Don Valentin. Kamera sudah berjalan dengan perlahan, dan memperlihatkan satu per satu yang amat terlihat kesengajaannya untuk membuang tumpukan secara slow motion. Yang lebih parah lagi adalah kontinuitas ketika satu per satu masuk ke dalam acara sesi makan malam. Kondisi scene yang ingin memperlihatkan beberapa aktivitas yang berlangsung, amat terasa tidak natural.
Dari sisi akting, saya amat menyukai bagaimana Eugene Domingo terasa memainkan peran untuk juga menguasai penonton. Di sisi lain, John Arcilla, berhasil hadir melalui karakter Valentin yang punya kembaran identik lewat dua perawakan yang serupa tapi tingkah yang berbeda. Ini belum ditambah komedian senior seperti Pokwang, sampai kehadiran Christian Bables sebagai sosok simpanan non-binary yang terasa begitu meyakinkan.
Sebagai sebuah suguhan, film ini berhasil diatas ekspektasi saya. “The Little Mistresses” terasa cukup optimal terlepas dari beberapa keterbatasannya. Dari sisi hiburan, cerita film ini dikemas terasa cerdas, termasuk komedi segar dari ucapan julid-julid para simpanan yang heboh. An instant cult!