Kalau bicara tentang beberapa aktivitas seperti ini: nonton Youtube, liat FYP di Tiktok, sampai membaca tweet di Twitter, dapat terbilang sebagai beberapa aktivitas yang sudah menjadi hal yang biasa. Semua berkat penemuan kamera. Teknologi yang ditemukan sejak akhir abad ke-19 ini berhasil mengubah bagaimana manusia hidup. Pada kali ini, “Fantastic Machine” hadir sebagai bentuk apresiasi akan kehebatan alat ini.
Awal film ini menghadirkan sebuah eksperimen sosial, yang membawa beberapa orang untuk mengalami pengalaman akan apa yang terjadi melalui kamera. Pantulan cahaya yang terefleksi menyadarkan kita bagaimana sebetulnya teknologi mesin ini bekerja. “Fantastic Machine” menyorot bagaimana transformasi ini bermula, yang berawal dari penemuan fotografi.
Selanjutnya, “Fantastic Machine” berkisah akan bagaimana foto berkembang menjadi motion picture, sampai akhirnya menyentil tentang pemanfaatan medium film sebagai alat propaganda. Mulai dari bagaimana ketika Hitler merekrut Leni Riefensthal untuk mendokumentasikan parade pasukan Nazi. Menariknya, sebuah rekaman wawancara bersama Riefensthal dihadirkan dalam upaya memahami apa yang dilakukan sutradara perempuan ini dalam memanfaatkan penggunaan multicamera guna membuat sebuah selebrasi akan kekuatan baru yang luar biasa pada masa itu.
Keberadaan televisi pun tidak terlewatkan dalam penceritaan film ini. Film ini pun menghadirkan sebuah segmen yang menceritakan bagaimana televisi mempengaruhi aktivitas di rumah dari sepasang suami istri. Tak heran, ketika siaran televisi baru diluncurkan di Irlandia pada tahun 1961, sang Presiden berujar dalam sambutannya bahwa teknologi ini bisa menjadi sesuatu yang menghancurkan layaknya bom atom. Terbukti, setelah beberapa dekade, ucapan tersebut masih terasa relevan.
Media fotografi dan film dikritik film ini sebagai pencipta ilusi. Hal ini terasa kontras bagaimana sebuah foto dari bencana Haiti mampu memberikan makna yang berbeda ketika penonton menyaksikan dua sudut pandang foto yang berbeda. Begitupula dengan film, sejak George Mellies memainkan efek-efek visual sederhana dalam memicu ilusi yang mudah ditebak, medium ini berubah menjadi sesuatu yang lebih ekstrim dari realita.
Apa yang membuat “Fantastic Machine” terasa begitu menarik adalah bagaimana film ini memanfaatkan editing yang begitu luar biasa. Effort yang begitu luar biasa untuk menggabungkan begitu banyak footage-footage penting. Cuplikan ini berjalan sesuai dengan narasi yang digaungkan, sambil kita akan teringat dengan beberapa viral videos dari beberapa tahun terakhir.
Yang lebih membuatnya menarik lagi, film ini menghadirkan beberapa rekaman propaganda yang dibuat oleh ISIS. Lucunya, rekaman ini memperlihatkan bagaimana sulitnya salah seorang personil ISIS tidak mampu menghafal naskah monolognya. Sebetulnya, “Fantastic Machine” benar-benar menyentil the another side of the use. Seperti bagaimana medium ini pun dimanfaatkan seperti adanya pembuatan tutorial peledak oleh para komplotan ISIS.
“Fantastic Machine” sendiri akan dirilis pada Berlinale Festival melalui section Generation 14plus pada 18 Februari 2023. Film ini merupakan sebuah dokumenter yang dikemas rapi dengan sebuah suguhan esai oleh kedua penulis dan sutradara film ini, Axel Danielson dan Maximilien Van Aertryck.
Secara keseluruhan, “Fantastic Machine” tak hanya sekedar bicara sejarah. Film ini terasa begitu dalam mengemas evolusi dari penggunaan teknologi yang berawal dari foto, yang menjelma menjadi rekaman, sampai menjadi siaran televisi. Alhasil, keberhasilan medium ini terlihat dari bagaimana Ia mampu mengubah kita hidup, setelah melalui proses ratusan tahun.
Tak ayal, “Fantastic Machine” tidak membosankan saya, termasuk bagaimana film ini me-recall beberapa video viral yang pernah saya saksikan. Film terasa begitu kritis dan memberikan sentimen yang tepat sehingga esai yang dihadirkan juga sama sekali tidak membosankan. Buat saya, “Fantastic Machine” tak hanya jadi sebuah tontonan yang tak hanya menghibur, tetapi juga edukatif, kritis, dan lengkap. Sebuah tribut yang mempesona!