‘Brutal’ menjadi satu kata yang mampu mendeskripsikan setiap karya dari Timo Tjahjanto, sutradara asal Indonesia yang terkenal dengan pancuran darah dan potongan tubuh manusia di setiap filmnya. Bersama Netflix, Timo Tjahjanto kembali lewat film “The Big Four” dengan kebrutalan yang hangat dan kekerasan yang anehnya sangat manusiawi. Menggabungkan aksi dan komedi, “The Big Four” menutup tahun 2022 dengan kenaikan kelas film aksi Tanah Air.
Dengan metode anti-hero, “The Big Four” mengenalkan kita pada karakter-karakter jagoan konyol dengan kompleksitas masing-masing. Kelima karakter utama dalam film ini bersatu atas nama keluarga, sesuatu yang jarang menjadi poros cerita film-film karya Timo Tjahjanto. Alih-alih menjadikan perjalanan setiap karakter terlihat heroik, film ini menempatkan para jagoan pada sikap dan tindakan yang sangat membumi. Uniknya, hal itu membangun simpati penonton terhadap setiap karakter dan segala keputusan yang mereka ambil.
Masih berbicara soal karakter, dinamika Topan (Abimana Aryasatya), Jenggo (Arie Kriting), Alpha (Lutesha), dan Pelor (Kristo Immanuel) ibarat satu piring dengan berbagai lauk yang rasanya bertabrakan, namun nikmat dan mengenyangkan. Keempat jagoan yang menjadi keluarga satu sama lain ini digambarkan saling melengkapi, membuat setiap adegan berdarah-darah terasa sangat hangat. Bayangkan, di tengah adegan tubuh yang terpecah belah, ada perasaan haru yang muncul alih-alih kengerian karena kepedulian dan cinta kasih komplotan kakak beradik tersebut.
Kemunculan Dina (Putri Marino) di tengah-tengah empat jagoan tersebut memantik sisi manusiawi dari setiap karakter untuk lebih menonjol. Dina hadir sebagai gambaran kedukaan, rasa takut kehilangan, dan pencarian makna dari keluarga. Terkenal lewat akting mengharu biru, Putri Marino mampu keluar dari zona nyamannya di film ini. Mendadak harus menjadi “orang gila” bak kesurupan jin, Putri Marino membuktikan bahwa eksplorasi aktingnya tak berhenti di drama percintaan. Tepuk tangan juga untuk Lutesha dan Kristo Immanuel yang menjadikan karakter-karakternya tak hanya komikal, tapi juga ikonik.
Beralih ke sisi komedi, sayangnya tak semua lelucon yang dilemparkan berhasil membuat perut tergelitik. Timo Tjahjanto menerapkan beberapa metode komedi Hollywood yang rasanya hambar dan tidak cukup masuk ke pemahaman humor lokal. Salah satu hal yang cukup mengganggu adalah penempatan senjata api yang bernama Siska sebagai love interest dari karakter Jenggo. Tak sekadar kepemilikan, Jenggo digambarkan memiliki hasrat yang terkesan seksual terhadap Siska. Di banyak film Hollywood, personifikasi benda yang menjadi sangat personal merupakan komedi yang umum. Namun, di film “The Big Four” penyampaian komedi ini masih terasa ada yang janggal, saya sendiri tidak cukup paham apakah hubungan Jenggo dan Siska tersebut seharusnya lucu?
Secara keseluruhan, lewat film “The Big Four” ini, Timo Tjajanto menciptakan sebuah dunia yang tak hanya hitam dan putih. Dalam dunia yang kompleks tersebut, kejahatan kadang harus dilakukan untuk menuntaskan kejahatan lainnya. Secara teknis, pergerakan kamera hingga latar musik dangdut pantura membuat film ini berkualitas global tanpa menghilangkan cita rasa lokal. “The Big Four” adalah hiburan dengan after taste menyenangkan, serta menjadi rangkuman kekerasan dan kebrutalan yang sangat manusiawi untuk dimaklumi penonton.