Mengambil setting di awal 60-an, “Ida” ini mencoba mengingatkan kembali penonton dengan situasi di Polandia pasca Holocaust dari perang dunia kedua, melalui sosok seorang calon biarawati yang bernama Anna.
Anna, yang diperankan oleh Agata Trzebuchowska, adalah seorang calon biarawati muda sekaligus cantik, yang sebentar lagi akan mengambil sumpahnya. Dalam rangka kegiatan tersebut, biara menginjinkannya untuk menemui keluarganya, yaitu tantenya yang bernama Wanda. Wanda, yang diperankan oleh Agata Kulesza, tidak pernah mengunjungi Anna dan cuma sempat untuk membalas permintaan biara melalui surat saja.
Pertemuan Anna dan Wanda ternyata berlanjut dengan pencarian identitas Anna yang sebenarnya. Kedua mengarungi perjalanan menuju kampung halaman Wanda, lalu mencari sosok Szymon, yang merupakan pelindung keluarga Anna. Perjalanan pencarian identitas Anna ternyata selama 82 menit ke depan akan berujung dengan akhir pada setiap karakter utamanya.
Film dari Polandia yang disutradarai Pawel Pawlikowski ini dikemas dengan gaya yang menarik. Pemilihan monokrom sebagai warna tampilan, menjadi sebuah pilihan yang sangat tepat dalam menghadirkan sisi kedalaman cerita. Selain itu, Pawel yang juga bersama-sama Rebecca Lenkiewicz yang menyusun naskah, cukup berhasil menggambarkan situasi yang lebih banyak terekam dari gerakan, dengan minimnya dialog, serta penokohan pada kedua karakter utama yang cukup kontras.
Sosok Anna dan Wanda digambarkan sebagai seperti pelacur dan santa kecil. “I’m a s**t and you’re a little saint.”, petikan kalimat Wanda yang paling tepat dalam menggambarkan karakter mereka. Kulesza menampilkan sebuah kualitas akting yang cukup mengesankan. Perannya sebagai Wanda menurut saya memberikan “nyawa” dalam kisahnya yang dikemas cukup dark. Sedangkan Anna, tampil berbeda. Trzebuchowska cukup berhasil memperlihatkan sebuah angel face yang kemudian ber-metamorfosis menjadi poker face di akhir cerita.
Yang menarik didalam film ini adalah pengambilan tata sinematografi yang dikemas cukup menarik. Akan banyak shot-shot yang terfokus dan cukup ekstrim dengan mengambil head space yang sangat tinggi. Lukasz Zal dan Ryszard Lenczewski dengan berani memotong bagian bawah hampir di sebagian situasi dan bermain aman dengan bagian atas pemainnya. Keduanya menampilkan banyak simbolisasi yang terlihat jelas, terfokus, hingga menampilkan emosi setiap karakter dengan sangat jelas, tanpa perlu adanya dialog. Tidak cukup mengherankan bila film ini berhasil menyabet nominasi Oscar untuk Best Cinematography.
Secara sederhana, “Ida” akan berkisah mengenai perjalanan masa sekarang ke masa lalu yang akan diakhiri dengan sebuah konklusi di masa depan. Film ini tidak memerlukan kerumitan kisah untuk tampil sebagai yang terbaik. Cukup lewat penekanan pada pendalaman emosi ke penonton, menjadi salah satu kunci keberhasilan film ini.
Film ini mungkin merupakan film Polandia pertama yang saya tonton. Walaupun tidak terlalu panjang kisahnya, namun dengan pace yang cukup lambat dan detil tetap tidak membuat saya bosan. “What sort of sacrifice are these vows of yours?”