The story of the lion and the hunter would be a lot different if the lion could write and read. Kata-kata tersebut keluar dari mulut Sharpton, seorang aktivis civil rights. “Loudmouth” merupakan sebuah film dokumenter autobiografi tentang Al Sharpton, seorang aktivis civil rights yang dari tahun 1969 masih aktif berjuang sampai saat ini. “Loudmouth” memperlihatkan perjalanan rasisme di dunia. The differences in black and white community, dari yang tidak di perlihatkan oleh media, mulai dari hal hal brutal yang dilakukan white supremacist sampai tahun 2020 silam.
Saat kita sebagai manusia dipandang sebelah mata, tentu salah satu respon wajar kita adalah tidak menyetujuinya, yang bisa mengarah ke aksi protes atau argumen mau individu ataupun dalam kelompok Tetapi untuk merasakan dipandang sebelah mata bertahun tahun, merasakan menjadi ‘barang’ jual beli, merasakan rasanya dibunuh hanya karena perbedaan warna kulit, kita yang bukan mereka, hanya bisa terdiam.
Memang, manusia bebas beropini, tetapi saat adanya mereka yang membuat komunitas atau bisa dibilang sekte sebagai ‘cult’ yang memang aktif dan dilegalisasikan oleh dunia, seberapa besar kebencian di dirinya? “Loudmouth” merupakan judul yang cukup menarik dan menggambarkan sifat kemanusiaan pada umumnya.
Film ini merupakan dokumenter yang tidak hanya mengambil sisi AI Sharpton di jaman era 2020 tetapi sutradara Josh Alexander juga meng eksekusikan perjalanannya dari awal ia menjadi aktivis sampai sekarang, tentu saja banyak archive interview Al Sharpton, footage footage aksi demo, etc.
Alert! Kalo kamu seseorang yang penuh empati, film ini bakal bikin nangis. Dari segi cerita memang ini punya banyak sekali titik dimana Josh mencoba menceritakan sedetil mungkin diskriminasi dari sudut pandang seorang aktivis, sekalian informasi tentang rasisme. Walau dengan alur cerita yang bolak balik, cerita ini memang tidak seharusnya kita abaikan.
Pengemasan film ini sangatlah simple. Josh merupakan sebuah sutradara yang berani. Sejujurnya, subjek yang dibawa oleh film “Loudmouth” ini sangatlah berat tentunya. Akan tetapi, “Loudmouth” memiliki nilai ekstra, karena sebagai penonton kita memang ditempatkan sebagai penonton yang menjadi third POV, termasuk semua orang yang berada di dalam produksi film ini.
Al Sharpton merupakan tokoh berani yang mungkin kurang dikenal. Apalagi dengan jaman sekarang, dimana era perbedaan atau diskriminasi terhadap orang lain sudah sangat berkurang, dan tidak adanya sisi edukasi yang mengenalkan isu ini terhadap generasi kedepan, tetapi masih tersebar benih-benih rasisme dan diskriminasi di dunia ini tanpa kita ketahui. Film ini merupakan salah satu media dimana orang orang yang merasakan diskriminasi bisa menyuarakan dirinya masing-masing. Disepanjang cerita yang film ini bawakan, ada satu hal yang kita semua bisa rasakan, yaitu, Silence. Sepanjang film, terdiam adalah respon terbaik yang dapat kita berikan. No matter who you are, where you are, how old you are, when the African American community talks, you listen in silence.