Sebagai sebuah coming of age drama paling realistis, “Boyhood” ini akan menjadi sebuah tontonan yang tidak dapat dilewatkan. Richard Linklater menawarkan sebuah tontonan perjalanan ke dalam realita, yang digambarkan dari sosok Mason, mulai dari kanak-kanak hingga memasuki masa dewasa awal.
Penonton akan diajak untuk kembali ke tahun 2002, dan bertemu dengan seorang anak bungsu bernama Mason, yang diperankan oleh Ellar Coltrane, yang sebetulnya kelihatan normal-normal saja. Linklater tidak menyajikan sebuah cerita yang memang disusun sedemikian rupa, tetapi memperlihatkan bagaimana caranya “mematangkan” konsep yang biasa-biasa saja melalui perubahan-perubahan yang terjadi. Maksud saya, seperti menyaksikan film yang mengambil setting misalnya dari era 60-an, para pembuat film akan berusaha keras untuk menampilkan hal yang serupa walaupun sebetulnya tampak tidak serupa. Berbeda dengan film ini, sajian kekonsistenan Linklater selama 12 tahun memperlihatkan potongan-potongan kisah yang disertai dengan beberapa momen-momen nyata disekitar kita.
Dari sisi cerita, film ini tidak memperlihatkan sesuatu yang benar-benar berat. Kisahnya mengalir begitu saja, dan yang cukup menyenangkan, terdapat banyak perubahan nyata yang diperlihatkan dalam film ini. Mulai dari sosok Mason, Sam dan Ibunya, Olivia; yang memperlihatkan mulai dari perubahan secara biologis, hingga perubahan secara psikologis.
Film ini dimulai dengan nama “The Twelve-Year Project.” Linklater memulai mematangkan konsep ceritanya dengan melakukan penyesuaian terhadap para pemainnya secara berkala setiap tahunnya. Selain itu, Ia juga memasukkan beberapa factual things yang sempat menjadi tren di masanya, mulai dari Britney Spears, GameBoy, Apple Computer, Harry Potter, XBox, Pemilu Amerika, social media hingga penggunaan fasilitas video call. Kemajuan teknologi menjadi salah satu unsur pembeda setiap periode tahunnya, dan akan terlihat jelas bagaimana inovasi-inovasi dalam dunia manusia berjalan.
Dari kisah kehidupan Mason, yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana Olivia berusaha berjuang sebagai single mom untuk menghidupi Mason, menghadapi banyak kegagalan pernikahan, memenuhi cita-citanya, hingga melepas kedua anaknya. Patricia Arquette, yang memerankan sosok Olivia, benar-benar memperlihatkan ekspresi tersebut. Sosok Olivia yang pintar, disiplin, dan good mom ini cukup memegang peranan dalam kisahnya, yang juga sebetulnya menentukan nasib kedua anaknya, Mason dan Sam.
Lain halnya dengan karakter Sam yang diperankan oleh Lorelei Linklater, yang juga putri dari sutradara film ini. Penonton akan dapat membandingkan perbedaan perkembangan kematangan antara anak laki-laki dan perempuan menjadi dewasa. Sosok Sam yang memang sedikit jauh lebih tua, memperlihatkan sebuah perbedaan jelas bila dibandingkan dengan Mason. Sosok Mason Sr, ayah mereka yang diperankan oleh Ethan Hawke, menampilkan sosok Ayah yang menyenangkan, yang selalu berusaha meluangkan waktunya di akhir pekan, dan mencoba memahami kedua anaknya yang punya status children from broken family walaupun mereka tidak tinggal bersama. Yang menarik, Mason Sr hadir sebagai pendengar dan pemberi nasihat yang baik bagi kedua anaknya, walaupun Ia tidak terlihat sebagai sosok panutan patut diteladani.
Selama 12 tahun, yang dibagi ke dalam 12 periode dan 143 adegan, yang kemudian ditayangkan berdurasi selama 165 menit, akan menjadi sebuah tontonan yang sangat mengalir dan menurut saya tanpa klimaks dan sarat akan makna. Salah satu momen yang cukup teringat adalah ketika Mason, Sam dan Ayahnya bermain bowling. Mason menuntut untuk dipasangkan bumper¸demi mencetak strike atapun paling tidak menjatuhkan satu pin bowling. Ayahnya menolak dan bilang, “You don’t want the bumpers, life doesn’t give you bumpers.”
Ada satu kutipan yang menarik dari akhir film yang diucapkan oleh Nicole, teman Mason: “You know how everyone’s always saying seize the moment? I don’t know, I kind of thinking it’s other way around, you know, like the moment seizes us.”
Walaupun film ini tidak dapat dikatakan sebagai film pertama yang syuting dalam beberapa periode waktu, namun kerja keras Linklater dan para pemainnya perlu diapresiasi dalam menjaga konsistensi mereka. Memang cukup jarang untuk menjumpai film sejenis ini, dan tidak heran bila film ini menuai banyak prestasi, seperti film terbaik nomor satu pada beberapa kritikus film, meraih nilai sempurna pada situs kritis dan universal acclaim, menjadi film drama terbaik di Golden Globes hingga meraih enam nominasi di Academy Awards 2015 ini. Akan cukup disayangkan bila film ini gagal dalam tiga nominasi yang menurut saya benar-benar unggul: Best Picture, Best Director, dan Best Supporting Actress. Saya cukup setuju bila film ini dapat dikatakan sebagai salah satu yang terbaik dari dekade 2010-an. It’s a must-to-see movie!