Nama Emmett Till mungkin terasa asing bagi kita orang Indonesia. Akan tetapi, di Amerika Serikat, nama tersebut adalah satu dari sekian korban dari pergolakan kesetaraan sipil yang tak pernah henti. Film “Till” akan membawa kita ke dalam salah satu episodenya, yang akhirnya mampu menciptakan gerakan demi terbentuknya Civil Rights Act of 1957.
Bo, begitu panggilan sayang dari Emmett Till, yang diperankan oleh Jalyn Hall. Emmet tumbuh besar dibawah kasih sayang seorang Ibu, Mamie Till-Mobley, diperankan oleh Danielle Deadwyler, yang merupakan seorang single mom. Mamie terbilang beruntung. Ia hidup di Chicago, dan merupakan satu-satunya black american di posisinya yang bekerja sebagai Air Force.
Bo yang kala itu masih berusia 14 tahun, amat tertarik untuk mengunjungi Mississippi. Semua berkat ajakan saudara-saudaranya. Berbeda dengan Mississippi, Bo yang merupakan anak kota berupaya meyakinkan sang Ibu. Restu pun didapat, dan Bo ikut tinggal berlibur dengan saudara mereka. Mengingat kondisi Mississippi yang tidak seterbuka Chicago, Mamie telah mewanti-wanti putra semata wayangnya ini untuk tidak salah bersikap.
Singkat cerita, Bo tiba di Mississippi. Ia mencoba beragam hal yang tidak pernah Ia jumpai. Salah satunya adalah bagaimana Ia bersama saudara-saudaranya memetik kapas untuk dijual. Seusai dari kegiatan tersebut, mereka berhenti di sebuah toko kelontong milik keluarga Bryant. Tanpa disangkanya, kedatangannya tersebut akan berubah menjadi tragedi besar bagi se-antero Amerika Serikat.
Film ini disutradarai oleh Chinonye Chukwu, seorang sutradara perempuan yang sebetulnya pernah menyutradarai “Clemency.” Disini, Chukwu yang kemudian bersama Reilly dan Beauchamp, berupaya untuk membawa penonton kembali ke masa 50-an, untuk hadir dalam tragedi sosial ini. Cerita yang dikemas dengan alur maju ini berhasil untuk berkembang dan memainkan emosi penonton di sepanjang 130 menitnya.
Saya mungkin kurang mengetahui Danielle Deadwyler, selain baru menyadari jika Ia ikut bermain dalam “Gifted.” Ini merupakan sebuah penampilan yang amat luar biasa. Upaya Deadwyler untuk menghidupkan sosok Mamie Till-Mobley, benar-benar berwibawa dan mengharukan. Perasaan Ibu yang harus kehilangan putra satu-satunya ini menjadi beban yang begitu berat, walaupun Ia dikelilingi banyak orang. Tapi ingat, seperti kata film “Armageddon Time,” dunia ini tidak akan pernah adil.
Secara penyajian, film ini benar-benar terasa matang. Walaupun secara topik Ia mengingatkan kita dengan ke-kontrasan kehidupan black American di sisi utara ataupun selatan, film ini juga mengingatkan kepada kita bahwa hingga kini mereka belum baik-baik saja. Terbukti, saya baru mengetahui kata ‘lynching’ beberapa bulan lalu, ketika Presiden Joe Biden meresmikan The Emmet Till Antilynching Act, yang mengatur bahwa lynching merupakan sebuah aktivitas kriminal. Oh ya, lynching itu berarti melakukan pemberian hukuman mati seperti yang diterima Emmet atas perilakunya yang tidak diterima.
Berhubung menyajikan sebuah kisah nyata, “Till” akan menjadi sebuah tribut bagi Mamie atas upayanya untuk menyadarkan seantero Amerika akan tragedi yang menimpanya. Beban film ini pun sebetulnya berat, mengingat banyak aspek historis yang mungkin saja dapat dipermasalahkan. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, “Till” merupakan suatu tontonan yang patut ditonton, walaupun tidak mengenakkan.
Sebagai salah satu unggulan Metro-Goldwyn-Mayer di tahun ini, saya cukup yakin Danielle Deadwyler telah mengunci satu spot nominasi untuk Best Actress in Leading Role. Ini belum termasuk dengan beberapa unsur yang unggul, misalnya seperti Best Adapted Screenplay, Best Original Score, Best Production Design, dan Best Song dari Jazmine Sullivan yang berjudul “Stand Up.”
Amat kontras dengan “Armageddon Time,” film ini menjadi film kedua yang membahas isu rasial di awards season tahun ini. Film ini memang tidak akan membawa penontonnya untuk punya emosi menggebu-gebu dan bersemangat layaknya menyaksikan “The Help” ataupun “Hidden Figures.” Sebaliknya, ketegaran Mamie dan pahitnya tragedi membuat “Till” patut untuk menyadarkan kita sejenak, bahwa masalah rasial masih belum berhenti di Amerika. A must watch!