Dengan satu jentik jari, cermin akan retak dan meruah pecah. Itu adalah pondasi yang dipupuk oleh “The Brilliant Darkness”. Semua masalah berawal dari pemakaman seorang kakek, sampai akhirnya merambat ke masalah lain. “The Brilliant Darkness” menceritakan tentang bagaimana sebuah keluarga hancur karena hutang yang sang ayah. Tetapi menariknya, masalah hutang itu justru membuka luka lalu bagi seluruh anggota keluarga termasuk menantu dan cucu dari keluarga itu.
Menurut saya, “The Brilliant Darkness” memang disajikan untuk penikmat festival. Hal ini dapat dilihat dari visualisasi sinematografi, kita bisa melihat bagaimana emosi dibicarakan lewat warna lighting dan juga pergerakan kamera yang bisa dibilang sedikit jauh berbeda dengan film komersial. “The Brilliant Darkness” juga mengangkat budaya upacara kematian Vietnam. Selain itu, yang membuat saya berpendapat demikian, masalah-masalah yang tertuai di “The Brilliant Darkness” merupakan isu yang cukup hangat dibicarakan belakangan ini. Trauma masa kecil, depresi, keluarga, dan masalah mental lain yang menarik perhatian masyarakat.
“The Brilliant Darknes”’ juga menjual rasa relate bagi para penontonnya. Sebagai orang Asia, saya rasa banyak orang tua yang memperlakukan anaknya sebagaimana mereka diperlakukan sewaktu kecil. Tetapi, sayangnya, hal tersebut bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan—memukul anak dengan dalih mengajarkan hal yang baik, dan mereka menyebut itu rasa sayang, padahal itu adalah salah satu yang bisa menimbulkan trauma masa kecil. Masalah depresi dan ketergantungan juga menjadi sentilan yang diangkat di film ini. Fenomena ini sangat lazim ditemui di Asia, dan “The Brilliant Darkness” berhasil menuangkan itu semua dengan baik.
Film ini masuk ke dalam kategori film ‘sibuk’ saya, karena mise en scene-nya selalu terlihat bergerak, banyak percakapan, serta argumen hingga sedikit sekali yang menggambarkan keadaan ‘tenang’ di sini—mungkin memang karena ‘tenang’ bukan menjadi bagian dari film ini. Sedikit menakjubkan juga bahwa film ini hanya menggunakan sedikit latar tempat, dan semua masalah terjadi hanya dalam latar waktu semalam.
Ada beberapa yang kurang dari film ini menurut saya, yaitu penempatan komedi pada awal film ini dimulai. Bahkan, menurut saya, scene komedi itu bisa saja dihapus karena tidak menaruh peran penting dalam film ini. Juga, terdapat sedikit banyak permainan akting yang kurang dari para pemain, sehingga menimbulkan perasaan ‘something feels off’. Meski begitu, “The Brilliant Darkness” berhasil memainkan emosi penontonnya lewat tokoh Ayah yang menjadi representasi inti masalah.
Untuk artistiknya sendiri menurut saya cukup sederhana, tepat, dan padat. Di rumah sederhana yang cukup sempit dan lama, seluruh perabotan mulai dari tempelan dinding, kasur, sampai isi gudang pun saya rasa dipikirkan dengan baik. Sejauh ini, saya tidak merasa ada yang miss dari artistic continuity itu sendiri.
“The Brilliant Darkness” menyampaikan banyak pesan tersirat di dalamnya melalui untai diksi. Salah satunya adalah dialog karakter Kim, “You rise like a king and fall like a dog.”. Terlepas dari itu, film ini mampu membuat penontonnya fokus ke dalam masalah yang tergali lebih dalam setiap durasi yang berjalan.