Disaat film-film layar perak diramaikan dengan kisah drama percintaan ataupun cerita keluarga, Angga Dwimas Sasongko menghadirkan suatu alternatif di tahun ini. Berjudul “Mencuri Raden Saleh,” film ini akan membawa penonton untuk menikmati aksi sekelompok anak muda yang punya misi berat.
Cerita ini berawal dari seorang master forger bernama Piko, diperankan oleh Iqball Dhiafakhri Ramadhan, yang mengisi keseharian dari masa kampusnya yang belum selesai dengan membuat lukisan tiruan. Semua berkat Ucup, diperankan oleh Angga Yunanda, sahabat Piko yang punya koneksi sekaligus pakarnya urusan nge-hack. Suatu saat, setelah Piko berhasil meniru sebuah lukisan, mereka berdua mendapatkan order yang amat tidak disangka dari pembeli tersebut.
Kemampuan Piko membawanya ke sebuah proyek besar: menduplikasi salah satu lukisan koleksi istana negara. Lukisan ini bernama ‘Penangkapan Diponegoro” yang dilukis oleh salah satu maestro kenamaan bangsa ini, Raden Saleh. Dengan iming-iming bayaran yang fantastis, Piko dan Ucup memulai proyek besar mereka dengan mudah. Dalam perjalanannya, Ucup bisa mendapatkan dokumen hasil restorasi di tahun 2012 dan langsung dieksekusi Piko.
Ketika tahap penyerahan dilakukan, mereka kemudian dikejutkan dengan sosok pembelinya. Dia tidak lain tidak bukan adalah Permadi, sang presiden yang sudah turun tahta, diperankan oleh Tio Pakusadewo. Ambisi Permadi untuk memiliki lukisan yang sempat terpajang di ruang kerjanya itu menghasilkan suatu tantangan baru bagi Piko cs. Mereka batal untuk menjual lukisan tiruan tersebut, tetapi malah dipaksa untuk menukar dengan aslinya. Kasihan.
Cerita ini ditulis oleh Angga Dwimas Sasongko bersama Husein Atmodjo. Dari segi penceritaan, film yang berdurasi 154 menit akan cukup mengenyangkan penonton lewat aksi percobaan pencurian yang dilakukan Piko cs. Sayang, ada beberapa elemen ganjil di dalam ceritanya, terlepas dari pengemasan yang bisa dibilang amat niat. Salah satu yang saya kritisi disini adalah keganjilan ketika Piko cs yang ceritanya mampu menyelundup kantor logistik. As far as I know, biasanya kantor logistik yang baik akan beroperasi 24 jam, sehingga mungkin bagian ini yang terlupakan oleh penulis.
Dari penyajian, kesan ambisius juga amat terasa. Terlihat dari bagaimana penyajian dengan editing disana-sini untuk menghidupkan kesan-kesan aksi terlihat semakin dramatis. Saya menyukai bagaimana permainan kamera yang kadang dihadirkan mengikuti pemain, walaupun kadang-kadang shot yang ditangkap kamera menjadi blur sehingga malah menjadi tidak jelas.
Kembali ke alur. Terlepas dari beberapa keganjilan yang saya temukan, film ini punya beberapa kejutan yang perlu diantisipasi oleh penonton. Masalahnya, entah apa karena ekspektasi saya yang sudah kepalang tinggi, ketika rentetan masalah muncul di layar, tidak terbangun niat semangat untuk melanjutkan kisahnya. Yang ada, saya hanya jengkel terbawa emosi, dan kejutan yang hadir ya tidak membangun rasa dikejar-kejar seperti yang diperlihatkan pemain.
Bagian lain yang menurut saya overrated disini adalah bagaimana dramatisasi yang dihadirkan oleh para pemain terasa cukup berlebihan. Sorry Iqbaal, penampilan di “Dilan” lebih natural daripada disini. Bila membandingkan Iqbaal dan Angga yang rutin ada di dalam sebuah adegan, Angga semakin memperlihatkan kematangan aktingnya yang terus menanjak. Ini belum termasuk dengan beberapa cast pendukung yang meluapkan aksi dramatisasi marah-marah mereka yang terasa cukup dibuat-buat.
Terlepas dari aksi marah-marah annoying, sebetulnya cast di film ini cukup menarik. Bila menilai Piko cs, perhatian saya cukup terfokus pada Angga serta Rachel Amanda. Amanda, sekali lagi membuktikan bahwa Ia merupakan aktris yang ulung, yang mampu mencuri penonton di balik kehadirannya. Film ini juga diramaikan penampilan dari Ganindra Bimo, Andrea Dian, Dwi Sasono, Muhammad Khan, Atiqah Hasiholan sampai Tio Pakusadewo. Pemilihan ensemble cast yang cukup oke.
Walaupun terdapat beberapa kekurangan dari “Mencuri Raden Saleh,” saya mengapresiasi Angga Dwimas Sasongko yang berani untuk menghadirkan tontonan genre yang berbeda. In overall, secara kualitas penyajian seperti production set terasa amat baik, termasuk pemilihan setting-setting yang menarik. Amat berharap keragaman seperti ini dapat terus mewarnai perfilman negeri ini. Cuma ya, terlalu banyak iklan disana-disini juga kadang membuat mata capek. Mungkin ini bisa dikurangi. Setidaknya, what a nice try…