Film “Pengabdi Setan 2” tergolong sebagai salah satu yang saya nantikan. Artinya, banyak ekspektasi yang diharapkan diungkap dari akhir cerita pendahulunya. Berbeda dengan film sebelumnya, cerita yang digarap oleh Joko Anwar disini merupakan bagian baru yang tidak akan pernah penonton temukan bila menyaksikan “Pengabdi Setan” versi Sisworo Gautama Putra.
Film ini dibuka dengan production credits orisinil milik Rapi Film, yang sedang menyambut 50th Anniversary-nya. Cerita kemudian dilanjutkan dengan setting di tahun 17 April 1955, sehari sebelum Indonesia melangsungkan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Pada bagian ini, diceritakan tentang seorang wartawan pria berambut panjang bernama Budiman Syailendra, yang diperankan oleh Egi Fedly. Ia dibawa ke sebuah tempat asing (yang sebetulnya Bosscha) oleh sekumpulan polisi, untuk diberitahu tentang sebuah peristiwa aneh.
Berselang hampir tiga dekade, film melanjutkan cerita keluarga Suwono. Rini, yang diperankan oleh Tara Basro, mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan sarjananya yang tertinggal. Akan tetapi, Ia masih berat hati untuk meninggalkan Ayah dan kedua adik laki-lakinya yang kini sudah besar. Suatu ketika, di kala semuanya berkumpul di meja makan, Ia mengumumkan akan rencana kepergiannya. Namun, semuanya terhenti sejak terjadinya sebuah tragedi di rumah susun mereka.
Sama seperti sebelumnya, film ini ditulis dan disutradarai oleh Joko Anwar. Dalam pengembangan ceritanya, Anwar menggunakan dua peristiwa penting yang pernah terjadi di Indonesia sebagai setting utamanya. Pertama, adalah peristiwa Konferensi Asia Afrika di Bandung di tahun 1955, serta kejadian Penembakan Misterius yang meneror pada periode 1980-an. Bila Anda tidak memahami sejarah, mungkin Anda akan terlena dengan pengkaitan yang dilakukan Anwar.
Baiknya, walaupun mengambil setting lawas, Anwar terbukti berhasil untuk memvisualisasikannya. Penonton akan kembali bernostalgia dengan setting perkotaan 80-an yang masih diisi bus double decker, bioskop dengan poster lukisan besar, news anchor yang masih sambil memegang setumpukan kertas naskah berita ataupun nyanyian “Nyiur Melambai” yang menutup siaran televisi setiap harinya. Saya menyukai detil-detil ini yang memberikan kesan kalau film ini memang dikemas cukup matang.
Yang berbeda, film ini diberikan formula franchise horror ala Barat, yang menghadirkan beberapa karakter pendukung, yang nantinya juga akan tewas, dan menyisakan karakter utama. Bagian ini yang sebetulnya malah membuat “Pengabdi Setan 2” ya terasa seperti menonton franchise-franchise horror yang lain. Ujung-ujungnya Rini, Toni dan Bondi akan aman. Hal inilah yang membuat penyajian ceritanya menjadi tidak begitu spesial.
Dari kualitas akting, baiknya film ini tidak memilih aktor-aktor yang hanya modal tampang saja. Aktor-aktor di dalam film ini bisa menghilangkan kekakuan dialog yang kerapkali kita temukan di film Indonesia. Baiknya, tidak hanya main cast saja, namun supporting cast juga dapat berperan dan diberikan porsi yang lumayan sebanding di dalam ceritanya.
Secara penyajian horror, Anda akan menemukan banyak titik-titik jumpscare yang dikemas Anwar dengan begitu handal, lewat hadirnya efek teknis yang mendukung. Misalnya seperti kualitas suara yang mampu meneror penonton. Dari segi penyediaan tempat, rumah susun terbengkalai yang menjadi setting utama film ini juga sebetulnya lumayan berhasil dimanfaatkan, dan malah saya terpikir film ini punya material yang oke untuk dibuat ke dalam versi game-nya.
Sayangnya, sosok ‘Ibu’ yang seringkali di-highlight kehilangan unjuk giginya disini. Saya juga menemukan ada beberapa kejanggalan di film ini. Misalnya, ketika sosok WIna Endarti yang diperankan oleh Nafiza Fatia Rani yang berteriak di lorong utama rumah susun yang terbuka. Yang saya herankan, masa suara teriakan minta tolongnya sama sekali tidak terdengar ketika karakter yang lain ada pada tempat yang sama namun berbeda lantai. Pertimbangannya ya karena setnya yang terbuka, berbeda dengan gedung yang tertutup. Yang mana seharusnya kejadian di lantai lain bisa terdengar di lantai lain, mengingat tidak ada keramaian disana.
Alhasil, “Pengabdi Setan 2” terbilang tidak mengesankan seperti ekspektasi saya. Saya masih teringat bagaimana “Pengabdi Setan” mampu membuat saya terngiang dengan situasinya setelah beberapa hari menyaksikannya. Kalau film ini, ya sama sekali tidak ada ketakutan yang berarti. Pengalaman setelah menonton yang amat berbeda. Kalau dicermati, film ini sepertinya masih akan dilanjutkan, melihat ending-nya masih terkesan berlanjut lewat belum jelasnya kehadiran Batara dan Darminah. Walaupun kurang memuaskan, setidaknya ya, penggarapan film horror seperti “Pengabdi Setan 2” bisa menjadi standar minimum lah untuk film genre sejenis di negeri ini.