Pada awards season tahun ini, film ini merupakan salah satu jebolan Cannes yang cukup dijagokan. “The Worst Person in the World” merupakan installment ketiga dari ‘Oslo Trilogy’ buatan Joachim Trier, yang ceritanya terpusat pada kehidupan seorang wanita bernama Julie. Berhubung judulnya menegaskan tentang orang terburuk se-antero di dunia, masa iya?
Sedari awal, film ini sudah memberitahu penonton bila film ini akan terdiri dari 12 chapter, termasuk dengan sebuah prolog dan epilog. Pada bagian prolog, kita langsung diperkenalkan dengan sosok Julie, diperankan oleh Renate Reinsve, seorang wanita muda yang pintar, namun tak punya arah. Ia belajar di kedokteran karena hanya merasa jurusan tersebut yang paling susah untuk dimasuki, namun akhirnya pindah jurusan ke psikologi. Setelah lelah dengan masa kuliahnya, Ia malah memutuskan untuk menjadi seorang fotografer berkat kamera yang dibeli dari uang pinjaman kuliah.
Baiknya, paras Julie yang amat cantik juga berhasil menarik banyak minat pria-pria disekitarnya. Ia berhasil tidur dengan dosennya, menikmati modelnya, sampai suatu ketika Ia bertemu dengan seorang komikus bernama Aksel. Aksel, yang diperankan oleh Anders Danielsen Lie, punya frekuensi yang sama dengan Julie. Keduanya merupakan free thinkers, namun masalah umur yang jadi membatasi mereka. Walaupun demikian, Julie tetap memutuskan untuk hidup bersama Aksel. Btw, cerita belum berhenti disitu, saya tidak mau mengumbar kelanjutannya ya.
Cerita film ini ditulis oleh Joachim Trier dan Eskil Vogt, yang kemudian disutradarai oleh Trier. Secara alur kisah, setiap bab memiliki gaya masing-masing yang ditutup dengan gaya yang lugas. Dari ceritanya, ketertarikan saya pada cara pandang Julie-lah yang membangun rasa penasaran untuk tetap terus mengikuti ceritanya. Akan tetapi, semakin ke belakang saya menjadi kurang menyukai ceritanya.
Well, ini memang bukan film untuk semua. Namun, akting Renate Reinsve di film ini patut diperhitungkan. Aktris asal Norwegia ini berhasil memikat walaupun kadang akan tampil secara berbeda di setiap babnya. Keberanian Reinsve di dalam layar juga terasa membangkitkan semangat kesetaraan seperti yang disingkap Julie. Ini belum lagi ditambah dengan chemistry yang berhasil dibangun dengan cukup baik, terutama ketika Ia bersama kedua love interest di film ini.
Secara penyajian, sebagai sebuah drama romantis, film ini memang akan terpusat ke dalam pemikiran Julie. Penonton akan dibawa untuk mengobservasi bagaimana perilaku orang-orang di sekitarnya, sekaligus menilai seberapa ragu Ia untuk melawan. Salah satu yang cukup menarik perhatian saya adalah bagaimana adanya kelompok orang-orang tertentu yang memutuskan untuk tidak memiliki keturunan demi menjaga bumi.
Film jebolan Cannes ini memang terbilang prestatif. Buktinya, film ini berhasil menjadi perwakilan Norwegia untuk kategori Film Asing Terbaik di Academy Awards, bersaing dengan “Drive My Car,” sekaligus juga masuk dalam nominasi untuk Best Original Screenplay untuk Trier dan Vogt. Khusus yang kedua, buat saya memang kejutan, karena amat jarang sekali film-film berbahasa asing mendapat apresiasi yang layak untuk urusan naskah. Reinsve sendiri berhasil mendapatkan Best Actress di Cannes dan juga di BAFTA.
Jadi, apakah Julie merupakan orang yang terburuk di dunia? Menurut saya, tidaklah. Sah-sah saja Anda ingin menjadi apa. Jika kita sekilas menyaksikan apa yang terjadi kemudian pada Julie, kita semua akan menganggapnya bodoh. Namun, saya berpendapat lain. Walaupun tergolong si paling ragu, pada akhirnya Julie tahu betul bagaimana Ia harus mengambil keputusan dan menerima konsekuensinya.