Ketertarikan saya dengan dunia basket mungkin sempat hidup di akhir 90-an, ketika sepupu saya mewariskan koleksi kartu NBA yang nge-hits pada masanya. Kemudian, sosok Michael Jordan yang bersinar bak legenda, ditambah ketika Ia hadir sebagai pemeran lewat film “Space Jam.” Saya ingat betul bagaimana rasanya menyaksikan film keluarga di saat midnight. Satu theater ukuran sedang hanya berisi 4 kursi yang mana berisi saya dan keluarga. Masih bicara basket, kali ini ada salah satu film yang cukup fenomenal dimasanya yang baru saya tonton. “Coach Carter” akan membawa penonton ke akhir dekade 90-an, ketika seorang Ken Carter memutuskan untuk kembali ke SMA-nya dan melatih sebuah tim basket.
Ken Carter, diperankan oleh Samuel L. Jackson, sempat membawa nama harum semasa Ia masih bersekolah di Richmond High School. Ketika Ia kembali, kejayaan itu sudah tak tampak sama sekali. Tim yang akan diasuhnya hanya sempat memenangkan 4 pertandingan saja di dalam sebuah musim. Parahnya, suasana di tim juga tidak kompak. Di ruang ganti mereka hanya saling berkelahi. Sungguh parah.
Carter hadir sebagai sosok pelatih basket yang berusaha terlihat berkelas. Ia selalu berpakaian rapi: menggunakan jas, kemeja, berdasi panjang, layaknya orang kantoran. Tak hanya unik, Carter juga dengan berani menyerahkan sebuah kontrak persetujuan dengan para pemain yang akan dilatihnya. Sesuai memberikan shock culture bagi murid-muridnya, Ia pun berupaya agar mereka semua dapat menanamkan satu sama lain lewat sebuat sir. Langkah ini juga tidak dengan begitu mudah dapat diterima.
Yang menjadi menarik dalam ceritanya, Carter adalah seseorang pelatih dengan konsep ‘student athlete.’ Dalam pemahamannya, seorang atlit tidak hanya piawai dengan olahraganya saja, tetapi juga tetap memiliki pencapaian di kelas dengan level lumayan. Oleh sebab itu Ia dengan lantang memasukkan standar nilai bagi para pemainnya, yang kemudian menjadi sebuah kontroversi besar.
Film yang disutradarai oleh Thomas Carter ini membawa penonton dengan kemasan yang cukup energik. Saya menikmati spirit-spirit yang diselipkan dalam ceritanya, sehingga membuat kita selalu bersemangat dengan rangkaian konflik yang diumbar film ini. Belum lagi dengan penampilan Samuel L. Jackson yang begitu tegas. Ancaman push-up dan suicide yang diberikannya pada setiap yang melawan semacam hal yang sulit untuk tidak dilawan. Ia dengan segan mempersilahkan untuk keluar dari tim, namun akan tidak semudah itu untuk dapat kembali.
Dari sisi penyajian, apa yang coba diangkat oleh film ini cukup mengena. Cerita nyata Ken Carter saat mulai melatih Richmond High School pada tahun 1999, terbilang dikemas Mark Schwahn dan John Gatins menjadi suatu tontonan tidak hanya menarik, namun secara implisit menjadi inspirasi. Durasi 2 jam lebih tidak berhasil membuat saya untuk merasa bosan. Malahan, aksi pertandingan basket yang dihadirkan kerapkali membuat saya menjadi excited, walaupun pada kenyataannya dari sisi cerita sudah tertebak.
Dari sisi penampilan, Samuel L. Jackson sangat berhasil dengan kewibawaan yang dihadirkan. Sosok Carter yang keras, dan cukup tidak tertebak, akan memberikan kita dengan kejutan-kejutan. Dari sisi pendukung, saya merasa setiap anggota tim utama Richmond High School mendapat porsi peran yang cukup seimbang. Walaupun ada Channing Tatum disana, porsi yang diperankan hanya sebatas supporting saja. Namun, yang sedikit tidak saya sangka ternyata Octavia Spencer ikut meramaikan film ini. Cuma hadir 2-3 adegan, tapi Spencer bisa hadir mencuri perhatian.
Film yang dirilis di tahun 2005 ini punya struktur yang baik. Kisah yang terfokus dengan Carter, berhasil diurai dengan kelengkapan cerita-cerita pendukung yang memperlihatkan kita bagaimana kerasnya tantangan hidup tanpa masa depan yang jelas di Richmond. Momen yang paling baik di film ini menurut saya adalah ketika Timo Cruz akhirnya menjelaskan pada Carter apa hal yang Ia paling takuti dalam hidupnya.
Terlepas dari segala kekerasan hatinya, pelatih ini mampu menyadarkan kita bahwa pendidikan merupakan solusi efektif untuk menebas kemiskinan dan kejahatan. Dan fakta yang lebih menarik, seorang Ken Carter ternyata tidak hanya berhasil seperti di film. Di dalam perjalanannya melatih Richmond, setiap pemain yang Ia latih dapat lulus. Jadi, apakah anda setuju dengan Carter? Bagi saya, “Coach Carter” tak sekedar menghibur, tetapi juga menjadi pelajaran yang berarti tentang bagaimana sulitnya melakukan perubahan di tengah kompleksitas dunia. So enjoyable and inspiring!