Digadang sebagai mahakarya terbaru dari seorang Christopher Nolan, “Tenet” ternyata tidak berhasil memukau saya. Sutradara yang sudah sangat dikenal, dan kadang dikatakan sebagai salah satu yang terbaik di era sekarang ini menyajikan sebuah cerita action, yang seperti biasa, dikombinasikan dengan permainan science fiction. Alhasil setelah karya “Inception,” “Interstellar,” sampai “Dunkirk”, film ini terbilang seperti sebuah kelanjutan yang merumit. Saya masih ingat bagaimana teman saya beropini jika “Interstellar” susah dimengerti. Mungkin jika hampir setengah abad yang lalu karya Stanley Kubrick, “2001: A Space Odyssey” dianggap demikian, yang kini digadang sebagai salah satu klasik science fiction terbaik, mungkin tidak akan kejadian di film ini. Tetapi, ini tidak bermaksud untuk mengatakan jika film ini buruk. Tidak sama sekali.
Film ini memulai ceritanya dengan kesan thrilling yang menantang. The Protagonist, diperankan oleh John David Washington, ditugaskan untuk mengamankan suatu serangan di sebuah ruang orkestra yang berisi banyak penonton. Aksinya yang kemudian terbilang gagal, malah membawanya ke dalam Tenet, dan menyadari akan adanya potensi Perang Dunia Ketiga dari sebuah teknologi dari jaman masa depan. Teknologi tersebut mampu membuat terjadinya interaksi yang melewati batas waktu, sehingga membentuk sebuah loop yang tidak berulang, melainkan merubah ke masa depan. Singkatnya, The Protagonist berupaya untuk mengagalkan ancaman ini.
Sekilas, cerita yang ditulis oleh Nolan ini terasa meyakinkan. Dari dialog yang terasa berkelas dan intelek, ternyata tidak memberikan sebuah tontonan yang mudah dicerna. Jika Anda tidak mau nonton film yang membuat Anda berpikir banyak, sedari sekarang saya memberi peringatan untuk tidak menyaksikannya. Walaupun sebetulnya kalau disadari, plotnya sederhana, namun Nolan seakan membuatnya ‘berkelas’ dengan merumitkan cerita sehingga penonton akan terkesan ‘wow.’
Ini merupakan salah satu proyek ambisius Nolan. Merupakan featured film kesekiannya selama 18 tahun terakhir bersama studio Warner Bros., terbilang sudah menghabiskan biaya produksi yang tidak tanggung-tanggung, lebih dari $ 200 juta. Tahun 2020 yang diwarnai dengan pandemi global membuat film ini beberapa urung dari tanggal perilisannya, sampai akhirnya muncul secara daring.
Secara penyajian, perlu saya akui, Nolan menggarapnya dengan amat meyakinkan. Kesan awal film ini sudah sangat impressive, saya amat menikmati padanan musik upbeat penuh terror, dengan kesan action yang begitu terasa. Begitupula dengan production design, editing, sound editing serta cinematography yang amat memukau. Tak heran, jika film ini merilis dalam bentuk IMAX-nya. Mungkin jika tidak ada pandemi, saya pasti menyaksikannya versi IMAX.
Dari jajaran cast, saya cukup memuji Nolan untuk mengusung Black-american sebagai tokoh utamanya. John David Washington memperlihatkan potensinya jika Ia patut diperhitungkan, setelah beberapa tahun lalu juga muncul dalam film andalan 2018 “BlackKklansman” ataupun “The Old Man and the Gun.” Yang saya sukai, ada sosok legenda Michael Caine disini, Robert Pattinson yang semakin matang aktingnya, serta Kenneth Branagh yang banyak menerima tuaian kritik sebagai antagonis Russia ala James Bond. A somewhat nice ensemble!
Pengalaman menonton yang berbeda seperti yang dihadirkan film-film Nolan sebelumnya, mungkin jadi unsur yang paling dijual oleh film ini. Akan tetapi, semua kesan matang yang dihadirkan film ini serasa ambruk dengan kerumitan penceritaannya. Mood meter yang sudah mau memuncak sedari bagian awal ternyata hanya menjadi datar buat saya sampai ke bagian akhirnya.
Film yang digadang sebagai salah satu gacoan Warner Bros. di tahun ini mungkin akan cukup mendapatkan beberapa nominasi, dari penggarapannya yang aman. Akan tetapi, saya cukup amat yakin jika film ini akan sulit memenangkan Best Picture. Ini bukan film untuk semua. Cukup satu jam, saya merasa wow dan mencerna inti ceritanya, lalu ketika mulai bosan, saya jadi cukup tertidur pulas. Yah, “Tenet” berhasil jadi obat insomnia saya. A quite dissapointing!