Sekilas, film ini mengingatkan saya pada Film Terbaik Academy Awards tahun 1963, “Lawrence of Arabia.” Semakin ke dalam, ternyata tidak seindah yang saya bayangkan, walaupun keduanya sama-sama menonjolkan keindahan padang pasir. “Waiting for the Barbarians” menawarkan sebuah kisah akan kekuasaan, penghinatan sekaligus sebuah ketulusan di tanah perbatasan.
Penonton akan dibawa ke sebuah setting di tengah gurun pasir. Yap, sebuah pemukiman yang dikelilingi tembok tinggi, yang kita sebut sebagai benteng. Kehidupan masyarakat di dalamnya berjalan cukup menarik. Dipimpin oleh seorang Magistrate tak bernama, diperankan oleh Mark Rylance, yang cukup berbaur dengan masyarakat. Tak hanya itu, Ia sosok yang baik hati. Walaupun di perbatasan, Ia tetap memanusiakan mereka yang asing.
Tak lama, biar ceritanya seru, sosok antagonis pun masuk ke dalam kisah. Pemukiman yang adem ayem ini kedatangan petugas polisi utusan Empire bernama Captain Joll, diperankan oleh Johnny Deep. Awalnya, kedatangan Joll disana cukup disambut baik oleh Magistrate. Namun, semenjak perlakuan Joll yang semena-mena pada dua orang tawanan kaum Barbar, memicu adanya perselisihan antara pihak Empire dengan kaum Barbar. Disinilah cerita berlanjut.
Film ini merupakan debut film berbahasa Inggris pertama dari sutradara kenamaan asal Kolombia, Ciro Guerra. Saya masih ingat bagaimana saya menyaksikan “The Wind Journeys,” yang dihadirkan di salah satu festival film Kolombia di Jakarta beberapa tahun silam. Sama seperti film yang pernah dibuat, film ini juga ngomongin kaum lokal, yang disini diartikan sebagai barbar. Mungkin berbedanya, untuk konteks film ini kaum Barbar yang dihadirkan seperti Bangsa Mongol yang hidup liar di Gurun Mongolia.
Film ini sendiri adalah sebuah adaptasi dari novel yang ditulis oleh penulisnya langsung, J.M. Coetzee. Coetzee membawa penonton ke sebuah fiksi antah berantah, yang tidak menjelaskan siapa Empire disini, apakah Inggris atau Perancis, namun yang penting mereka berbahasa Inggris. Secara plot, alur cerita yang ditawarkan terasa biasa saja. Tidak ada yang sesuatu yang dirasa spesial dari segi cerita, terlepas dari semua yang serba fiksi.
Kalau dari penampilan, dengan mengusung dua tokoh utama yang merupakan peraih Academy Awards dan nominatornya, tentu sudah jadi jaminan awal. Ternyata, saat disaksikan memang benar. Saya menikmati penampilan yang diperlihatkan Mark Rylance, terlepas dari karakternya yang menurut saya baik hati, tulus, tetapi merupakan Magistrate yang genit juga. Di sisi lain, Johnny Depp menjadi lawan main yang tangguh, dingin, dan hanya muncul segelintir saja. Berhubung saya tidak pernah membaca novelnya, mungkin ini apa karena biaya Depp yang menjulang tinggi? Saya tidak tahu, yang pasti sosok Deep ataupun Pattinson hanya tampil sebentar saja.
Dari sisi penyajian, ada 3 unsur kuat yang dihadirkan film ini. Pertama, saya amat menikmati gaya sinematografi Chris Menges. Menges yang sebelumnya sudah pernah memenangkan Oscar untuk cerita pedalaman seperti “The Mission” ataupun setting perang seperti “The Killing Fields” memang sangat terbukti untuk menghidupkan cerita. Dramatisasi film ini bisa menjadi kuat walaupun dengan inti cerita yang B-aja, sayangnya.
Poin kedua, ada di set produksi yang digawangi Crispian Sallis dan Domenico Sica. Saya menyukai bagaimana set benteng yang mereka hadirkan, yang hampir menjadi mayoritas pengambilan gambar selain gurun pasir luas. Keindahan gaya mediterannia terasa menarik, serta detil pada banyaknya dekorasi, misalnya pada meja Magistrate, ataupun beragam pernak-pernik saat Magistrate sedang tidur di tenda.
Terakhir, saya patut mengapresiasi musik gubahan Giampiero Ambrosi. Sedari opening credits, saya sudah menyana jika bagian ini adalah salah satu yang kuat di film ini. Musiknya yang sentimentil dengan alunan alat musik gesek, terasa begitu megah. Gaya musik yang dihadirkan sedikit mengingatkan saya dengan aransemen nominator Academy Awards, James Newton Howard dalam film “Defiance.”
Secara keseluruhan, “Waiting for the Barbarians” yang sebetulnya sudah dirilis di Venice Film Festival ini terbilang biasa saja buat saja. Terlepas dari penyajiannya yang sudah baik, film yang hampir dua jam ini berhasil menyita waktu dan menggantungkan saya. Apa mungkin karena saya yang terlalu memiliki ekspektasi tinggi dengan film ini. A dissapointment!
Thanks to Mola TV who provide me the content! Jika kalian berminat, Waiting for the Barbarians tayang secara exclusive di Mola TV sejak 7 Agustus 2020. Dengan membayar sebesar Rp 12,500,- kalian bisa berlangganan selama 30 hari dan bisa menyaksikan tontonan pilihan kamu melalui Desktop ataupun Android. Kalian cukup registrasi di https://mola.tv, dan nikmati beragam sajian judul-judul populer lainnya seperti “Donnie Darko” sampai “Million Dollar Baby.” See you there…