Menjadi imigran di negeri orang demi iming-iming masa depan yang lebih baik sudah menjadi realita klasik. Mereka melepas pekerjaan mereka saat ini dan bekerja serabutan. Fenomena ini juga diangkat dari sudut pandang seorang Chinese sebagai latar belakang ceritanya. Berangkat dari sana, film yang berjudul “Eight Taels of Gold” ini, kemudian mengurai bagaimana kultur dan kehidupan masyarakat Hongkong di era akhir 80-an. Sungguh mengesankan.
Sosok utama di film ini adalah ‘Slim’ Cheng, diperankan oleh Sammo Kam-Bo Hung, yang merupakan seorang pria berusia 30-an yang memutuskan kembali ke kampung masa kecilnya di Tiongkok. Sebelumnya, Ia sudah hidup lama di Amerika Serikat. Hampir selama 16 tahun. Salah satunya menjadi supir taksi disana. Bermodal green card yang dimilikinya Ia kembali demi menjumpai keluarganya. Please note, cerita ini bersetting di jaman 80-an, dimana mungkin orang antar benua belum bisa berinteraksi secanggih saat ini.
Setelah menghadapi turbulensi yang hampir menghabisi nyawanya, Slim tiba dan bertemu dengan Jenny, diperankan oleh Sylvia Chang, yang merupakan sepupunya. Slim kemudian meminta Jenny untuk menemaninya ke kampung halamannya. Jenny membawa adik laki-laki kecilnya. Ada segelintir tragedi di sepanjang perjalanan, namun pada akhirnya membawa Slim ke dalam babak baru hidupnya.
Sedari awal, cerita yang ditulis oleh Mabel Cheung dan Alex Law memberi banyak kritik akan kehidupan masyarakat Tiongkok di jamannya. Misalnya, bagaimana kebijakan pemerintah yang melarang jumlah anak lebih dari satu, yang memaksa adik Slim dan orang tuanya harus kabur ke pedesaan. Begitu juga film ini menyentil bagaimana pembatasan berekspresi, ketika Jenny dan adiknya yang menari, kemudian ditegur oleh petugas dikarenakan tarian tangan mereka melebihi pundak. Menariknya, salah satu hits mendiang Teresa Teng berjudul “Ye Lai Xiang” menjadi salah satu pengisi di film ini. Bila mengaitkan kondisi waktu itu, Teng memang dianggap musuh bagi pemerintah Cina, terlepas dari segala kepopulerannya sebagai penyanyi di daratan Cina.
Tidak hanya itu. Film ini secara indah memperkenalkan kita dengan masyarakat di pedesaan Tiongkok. Bagaimana interaksi kekeluargaan yang terjadi, bagaimana kultur angpao sebagai tindak lanjut dari pemberian seserahan, sampai kepercayaan akan dukun beranak dalam proses kelahiran anak. Tapi belum sampai disitu saja. Untungnya, di momen-momen tersebut sutradara Mabel Cheung menghadirkan dengan situasi komedi yang membuat kita tidak perlu serius-serius amat. Termasuk bagaimana situasi perjodohan yang hingga kini masih berlangsung di Tiongkok.
Film berdurasi 100 menit cukup menarik untuk diikuti, dan saya sampai kadang mengulang-ngulang beberapa adegannya. Dari sisi akting, penampilan yang ditampilkan aktor legenda Sammo Hung dan Sylvia Chang cukup menghibur lewat drama komedi, dan yang saya sukai keduanya dihadirkan apa adanya, dengan tidak terlalu menonjolkan ketampanan atau kecantikan pemeran utama seperti yang kita temukan di film-film lainnya.
Prestatifnya, film ini terpilih menjadi perwakilan Hong Kong di ajang Academy Awards, walaupun gagal masuk menembus Top 5 nominations. Selain ceritanya, yang menjadi kekuatan penyajian “Eight Taels of Gold” ada di settingnya. Saya menikmati pemilihan pedesaan yang masih murni yang dikombinasikan dengan padatnya penduduk serta gambaran kota yang baru mau berkembang. Salah satu yang berkesan buat mungkin adalah menara pertahanan yang seperti bekas dipakai dari jaman dahulu kala, yang menjadi semacam perantai antara Slim, Jenny ataupun memori masa kecil mereka. Kesimpulan saya,”Eight Taels of Gold” tidak hanya menghibur, tetapi juga berkesan. Saya menjadi semakin paham dengan fenomena sosial yang terjadi di Cina pada era 80-an. Good movie!