Berangkat dari ketidaksengajaan, awalnya saya mengira jika ini adalah sebuah dokumenter. Apalagi ketika bagian awalnya sudah dilengkapi dengan informasi bahwa versi yang saya tonton merupakan hasil restorasi. Sekejap dugaan awal saya keliru. “A Portrait of the Artist as Filipino” ternyata menghadirkan sebuah konflik keluarga dengan setting sebelum perang dunia kedua di Intromuros, Manila Tua.
Penonton akan diperkenalkan dengan kedua dame of the house, Candida dan Paula, yang diperankan oleh Daisy H. Avellana dan Naty Crane-Rogers, yang hidup serta bersama ayah mereka yang mengurung diri di kamarnya. Ayah mereka, Don Lorenzo Marasigan, merupakan salah seorang pelukis legendaris yang mengalami kekeringan akan karya, sehingga kehidupan di rumah pun perlu ditanggung oleh kedua putra-putri-nya yang lain, Manolo dan Pepang. Manolo dan Pepang pun mulai berencana untuk menjual rumah. Sampai-sampai sudah mengatur pembagian furniture dan juga siapa yang akan menampung Candida dan Paula.
Suatu ketika, salah seorang kolega mereka, Bitoy Camacho, yang diperankan oleh Vic Silayan, mendatangi rumah mereka. Ia kemudian bertemu dengan sebuah lukisan karya Don Lorenzo yang fenomenal, yang diberi judul ‘A Portrait of the Artist as Filipino.’ Akan tetapi kedua dame cukup protektif dengan maksud kedatangan Bitoy. Sebab keduanya tidak akan memberikan informasi apapun tentang lukisan ini. Inilah yang membuat lukisan ini menjadi begitu misterius.
Kesulitan yang mereka hadapi sebetulnya benar-benar disadari oleh kedua saudari ini. Mereka mulai menyediakan kosan, yang kini baru diisi seorang pemain piano bernama Tony Javier, yang diperankan oleh Conrad Parham. Candida juga memutuskan untuk menjadi seorang penangkap tikus di Kantor Kementrian Kesehatan, dan Paula juga nekat membuka kelas Spanish dan piano di rumah. Semuanya ini demi mengulur Manolo dan Pepang yang sebentar lagi akan mengusir mereka dari rumah tersebut.
Film yang begitu menarik. Saya amat menikmati kewaspadaan Candida dan Paula pada setiap intrik-intrik di film ini. Mulai dari kedatangan Bitoy, ataupun ketika keduanya mencoba serius untuk menghadapi Tony yang tidak pernah serius. Tetapi juga, keduanya dikemas dengan penggambaran kombinasi karakter yang pas. Candida dihadirkan sebagai sosok yang lebih tegas, mau berkata-kata, dan keras; sedangkan Paula lebih ke sosok yang lembut, penurut, tidak berani, dan lugu. Kewaspadaan yang dihadirkan keduanya, terutama pada lukisan yang menjadi objek sentral di film ini, menggambarkan pada kita bagaimana besar ketakutan keduanya dalam menghadapi kenyataan mereka: miskin, perawan tua, dan masa depan yang tidak jelas. Hal inilah yang menjadi semakin menarik, ketika mereka kemudian mulai menjadi irrasional, dengan bertingkah bodoh ataupun tertawa hingga menangis.
Cerita film ini sendiri diangkat dari sebuah cerita berjudul sama yang ditulis oleh Nick Joaquin, yang kemudian dipopulerkan dalam bentuk drama radio dan teater. Alhasil, ceritanya dianggap sebagai salah satu karya terbaik drama Filipino, apalagi karena penulisan cerita yang ditulis dalam bahasa Inggris. Ini yang membuat cerita ini menjadi salah satu bacaan penting untuk kelas English di Filipina.
Terlepas dari kepopulerannya, saya terbilang menikmati cerita 107 menit yang dihadirkan sutradara Lamberto V. Avellana. Setting cerita yang membawa penonton ke kota Intramuros, dinamika high class yang ditampilkan, sampai perjuangan menjadi orang kaya ala Tony, adalah segelintir hal yang menarik. Saya juga menikmati kala bagaimana Katholik cukup berpengaruh dalam masyarakat Filipina yang tergambar sedikit dari beberapa adegan di film ini. Baiknya, plot yang dihadirkan cukup memberi banyak tanda tanya yang hingga kita nanti akhirnya dapat menyadari apa maksud ‘melawan dunia’ yang dikemukakan Candida dan Paula.
Dari sisi akting, saya menyukai penampilan Daisy H. Avellana yang begitu khas. Sosok Candida yang keras, tegas, dan gengsian bisa diperlihatkannya. Lain halnya dengan Naty Crane-Rogers yang memerankan sosok Paula. Karakter Paula seperti dikemas layaknya keramik yang dibentuk, berawal dari adonan yang lembut namun kian lama mengeras, dan tampil memukau hingga akhir film. Dari sisi pendukung, yang paling menonjol adalah karakter Tony, yang punya selingan cerita sendiri di film ini.
Secara keseluruhan, “A Portrait of the Artist as Filipino” merupakan tontonan yang sepatutnya menjadi klasik. Saya menyukai pesan moral yang dihadirkan film ini, yang masih relevan hingga kini. Yang paling penting, monolog ending film ini yang membuat mata saya terbelalak, bagaimana Candida dan Paola memegang teguh janji dan semangat mereka untuk melawan dunia. Great classic!