Flora, sebutan latin untuk tumbuhan, memiliki kemampuan bergerak yang sangat berbeda dengan Fauna. Ketika fauna mampu bergerak aktif setiap saat, mungkin hanya segelintir flora yang mampu memperlihatkan kemampuan itu. Sebut saja, tanaman putri malu yang punya sensitivitas tinggi pada rangsangan sentuh. Ngomongin tanaman, kali ini sebuah film asal Austria berjudul “Little Joe” akan membawa kita ke dalam petualangan horror psikologis yang sama sekali belum pernah saya temukan. Well, check it out.
Cerita film ini diawali dengan perkenalan penonton pada sebuah perusahaan bernama Planthouse biotechnologies, yang melakukan berbagai macam rekayasa genetika pada tanaman demi pengembangan teknologi. Disana terdapat ratusan tanaman yang berjejer rapi yang setiap hari-nya dirawat dan diteliti oleh sekelompok peneliti yang berbaju jas laboratorium hijau toska muda. Salah satu di antara mereka, Alice, yang diperankan oleh Emily Beecham, memiliki projek penelitian rekayasa genetika yang cukup serius. Mengapa serius? Tanaman yang dipelihara Alice secara langsung berhasil mendominasi tanaman lain yang berada di dalam greenhouse yang sama, yang memberi sedikit gesekan antar peneliti. Alice meyakini, setiap tanaman tetap memerlukan interaksi dari makhluk lainnya, termasuk afeksi.
Kehidupannya sebagai seorang single mom, terbilang mulus. Ia telah memiliki seorang putra yang beranjak remaja bernama Joe, diperankan oleh Kit Connor, yang cukup bersabar dengan kesibukan Ibunya. Suatu hari, Alice membawa sebuah penghuni baru ke rumah. Walaupun terbilang melanggar aturan perusahaan, Ia membawa tanaman hasil rekayasanya yang kemudian Ia beri nama ‘Little Joe.’
Film berdurasi 105 menit ini menghadirkan sebuah tontonan yang cukup mencekam. Bukan karena tema horror yang berbeda dari biasanya, melainkan dari bagaimana ambience penuh teror yang dihidupkan. Sutradara Jessica Hausner, yang sebelumnya dikenal dengan “Amour Fou,” benar-benar serius untuk memberikan sisi kesan gelap dari Little Joe, yang dipadukan suara penuh lengkingan yang bergemuruh.
Dari penyajiannya, saya menikmati cara pengarahan kamera di film ini, yang digawangi Martin Gschlacht, yang cukup berani untuk menantang halangan dan selalu dinamis. Sepanjang film ini, anda akan cukup jarang menemukan adegan diam. Seluruh adegan yang terjadi di film ini, selalu didominasi dengan pergerakan kamera. Yang paling berkesan buat saya adalah bagaimana saat Alice dan Chris, rekan kerja yang diperankan oleh Ben Whishaw, berhasil ditangkap kamera ketika keduanya berbicara sambil mengambil makan siang mereka. Yang tak lupa juga ketika film ini tak ragu-ragu untuk menghadirkan tokoh utama di dalam adegan sambil tertutup oleh faktor pendukung dalam cerita.
Dari sisi penceritaan, apa yang dihadirkan oleh film ini sudah terlalu gamblang dari saat masuk ke bagian pertengahan cerita. Penonton sudah dengan mudah diceritakan siapa ‘dalang’ masalah, cuma terus dipancing untuk tetap penasaran dengan bagaimana konklusi akhir ceritanya. Film buatan Austria ini lebih terasa seperti film Inggris, mengingat bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa di film ini. Rasanya cukup berbeda, ketika membandingkan film Austria lainnya yang terbilang kental dengan unsur bahasa Jerman.
Untuk kualitas penampilan cast-nya, Emily Beecham cukup menonjol untuk memerankan sosok Alice yang penuh dengan kenaifan akan pemikirannya. Beecham cukup piawai untuk bisa bersanding dengan Kerry Fox yang cukup mencuri perhatian sebagai Bella di film ini. Sayang, penampilan Ben Whishaw yang cukup misterius disini, kurang sememikat apa yang sudah Ia perlihatkan dalam “The Lobster” ataupun di “The Danish Girl.” Tidak ketinggalan, penampilan Kit Connor di film ini cukup baik. Saya menikmati penggambaran dua sosok Joe yang cukup kontras disini.
Bicara setting film ini, yang hampir sebagian besar diambil di Karl Landsteiner Privatuniversität für Gesundheitswissenschaften GmbH, adalah sebuah pemilihan yang menarik. Keindahan setting laboratorium terasa cukup khas dan menyegarkan mata saya. Saya menikmati bagaimana film ini beberapa kali menampilkan cahaya warna pink paduan pantulan sinar putih dan tanaman Little Joe yang memenuhi ruangan. Overall, “Little Joe” mungkin tidak berhasil menakuti saya, namun berhasil sedikit membuat saya penasaran dengan jalan ceritanya, terlepas dari penggarapannya yang terbilang berani.