Nama brand Davines mungkin terasa asing di telinga kita. Produk asal Italia yang terfokus dengan perawatan tubuh ini punya tiga prinsip luar biasa yang patut dicontoh: etika, keindahan dan keberlanjutan. Melalui “Tomorrow and the Butterfly,” penonton akan diajak masuk ke dalam dunia Davines bagaimana mereka berupaya menjaga keindahan dari aksi keberlanjutan di segala aspek.
Secara gamblang, film ini akan dibagi ke dalam enam bagian ditambah pembuka dan penutupnya. Sebelum masuk ke dalam episode-episodenya, penonton akan diajak terlebih dahulu untuk mengenal sosok Davide Bollati, chairman dari Davines, yang juga merupakan generasi kedua di perusahaan. Saya begitu terinspirasi ketika Bollati bercerita bagaimana Ia merasa selalu diharuskan untuk bergerak dan tidak pernah puas. Baginya, Ia dilahirkan untuk itu. Luar biasa.
Episode demi episode dibahas dengan singkat, namun cukup jelas menunjukkan bagaimana Davines berperan dalam segala aspek, termasuk dengan unsur fondasi perusahaan yang dibahas di episode kedua. Masuk ke episode ketiga dan kelima, kita menyaksikan bagaimana turut campur tangan Davines demi membangun sumber daya manusia, misalnya dengan mendukung program sekolah ketrampilan rambut demi mengurangi pekerja seks belia di Cambodia, ataupun mendukung artist indie di Amerika Serikat. Dari sisi bisnis, kita akan melihat cara Davines menciptakan beauty dari definisi sudut pandang mereka yang banyak dibahas di bagian keempat. Tak ketinggalan, di episode terakhir kita akan menyaksikan proses panjang sebuah produk shampoo berkelanjutan yang mereka namai a simple shampoo. So interesting.
Bicara tentang enam aspek yang disinggung film ini, kesemuanya punya garis benang merah yang sama: menciptakan keberlanjutan. Walaupun terkesan tidak dikemas untuk memiliki kontinuitas yang menarik disimak, upaya yang dikemas oleh Alessandro Soetje, sutradara film ini, terbilang cukup oke. Di setiap episode, Ia berhasil terus menerus memperlihatkan scene yang jauh dari kericuhan, tenang dan indah. Dari sisi pengambilan gambar, Soetje terbilang cukup asyik mengeksplor segala keindahan serta kegiatan para narasumbernya, namun seakan tenggelam dengan arah ceritanya.
Salah satu bagian yang cukup menarik ada saat di bagian pertama film ini, yang terfokus dengan bumi. Kita akan dibawa menuju Tuscany, untuk mengenal tanaman Quercetano Olive, yang awalnya banyak dianggap remeh akan baunya dan kualitasnya yang rendah. Akan tetapi, dengan penanganan yang tepat dari The Slow Food Presidium, minyak dari tanaman ini dibawah ke level yang lebih tinggi.
Untuk ukuran sebuah hiburan, mungkin tidak terasa cocok bila ditautkan ke film ini. Dalam pandangan saya, apa yang ditawarkan “Tomorrow and the Buttefly” sungguh inspiratif dan mempesona, bahwa ada banyak cara yang dapat kita lakukan demi menjaga keberlanjutan. Tidak hanya merawat bumi, tetapi juga membangun manusia dengan fondasi nilai yang kuat, serta semangat juang yang tak berhenti untuk selalu inovatif dan kreatif. Mengutip salah satu slogan yang tengah populer: pasti ada jalan. Nice!