Terasa seperti terlalu cepat ketika Disney merilis satu per satu versi live action animasi-animasi klasiknya. Setelah membawa penikmatnya berpetualang bersama permadani terbang, kini giliran “The Lion King” yang unjuk gigi. Setelah dibuat ke dalam versi Broadway di tahun 1998, franchise animasi ini mendapat sorotan untuk dikemas ke dalam bentuk yang lebih realis. Di versi terbarunya, apa yang dihadirkan “The Lion King” akan kembali menyegarkan memori kita dari yang pernah kita saksikan di tahun 1994.
Cerita film ini membawa penonton ke sebuah wilayah kekuasaan bernama The Pride Lands, salah satu daerah di Africa yang menunjukkan betapa hidupnya keharmonisan antar kelompok hewan. Tentu, ini tidak lepas dari peran pemimpin mereka, Mufasa, yang disuarakan oleh James Earl Jones, yang mampu menjaga berjalannya “Circle of Life” di dalam komunitasnya. Untuk meneruskan masa kejayaannya, Musafa memperkenalkan putranya, Simba kecil, yang disuarakan oleh JD McCrary.
Tidak main-main, seluruh penghuni Pride Lands mengitari Pride Rock demi menyaksikan perkenalan tersebut. Dipandu oleh Rafiki, yang disuarakan oleh John Kani, Simba kecil diangkat dan disaksikan oleh seluruh kawanan hewan. Sayangnya, peristiwa royal ini tidak dihadiri oleh Scar, adik Musafa, yang disuarakan oleh Chiwetel Ejiofor. Scar yang merasa tampuk kepemimpinannya nanti diambil oleh Simba, sehingga Ia menyiapkan rencana untuk merebut tahta kekuasaan tertinggi Pride Lands.
Apa yang ditawarkan cerita “The Lion King” dari versi terbarunya, kurang lebih tidak terlalu berbeda. Jadi, Anda tidak perlu kuatir untuk ketinggalan bisa belum menyaksikan versi aslinya. Baiknya, sutradara Jon Favreau, yang dikenal penyutradaraannya lewat dua film pertama “Iron Man,” menghadirkan keindahan Africa dari layar perak. Saya sangat menikmati bagaimana animasi ini dikemas secara sangat halus, sehingga kita akan merasa seperti menyaksikan Animal Planet ataupun National Geographic Wild. Two big thumbs up untuk pengerjaan animasi yang luar biasa. Bagi orang awam, apa yang ditawarkan “The Lion King” akan membuat anda terlena jika ini adalah sebuah animasi.
Secara visualisasi memang sangat unggul bila kita membandingkan beberapa judul live action terakhir buatan Disney. Akan tetapi, pada beberapa bagian, terutama di tengah cerita, saat masuk ke dalam masa pengembaraan Simba, cerita ini mulai sedikit membosankan. Fase-fase ini membuat saya cukup ingin tertidur lelap, sebelum akhirnya kembali melek ketika lagu “The Lion Sleeps Tonight” dinyanyikan Timon dan Pumbaa, yang disuarakan oleh Billy Eichner dan Seth Rogen.
Dari sisi musik, Hans Zimmer kembali menggawangi score film ini dengan aransemen beberapa musik baru. Salah satu yang menggelegar di telinga saya adalah track “Remember,” dengan menutup film ini dengan begitu megah. Untuk urusan lagu, yang sebagian besar dikarang oleh Elton John dan Tim Rice, kembali di recycle dan warna baru dan tidak terlalu menghilangkan kesan esensi film sebelumnya. Yang agak saya sedikit kecewakan, “Can You Feel the Love Tonight” versi terbaru terasa terlalu banyak ornamen improv ala Beyoncé. In my opinion, “I Just Can’t Wait to be King” ataupun “Circle of Life” malah jauh lebih menarik ketimbang main song film ini.
Kesimpulan saya, “The Lion King” hadir diluar ekspektasi. Penonton masih dapat memahami pesan cerita yang disampaikan dan mudah dipahami dari film yang berdurasi 118 menit, lewat konsep-konsep seperti “Hakuna Matata” ataupun “Circle of Life” yang dihadirkan film ini. Terlepas dari beberapa kekecewaan kecil saya, “The Lion King” masih terbilang baik dan cukup pantas untuk menjadi rekomendasi di musim liburan ini. Good!