Awalnya, ketika tahu spin off film “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC) bakal digarap, saya sedikit terganggu. Habis, siapa yang rela kisah cinta legendaries Cinta Rangga diusik oleh tambahan informasi soal asmara Milly dan Mamet yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Baik Milly maupun Mamet rasanya sudah cukup mendapat porsi tanpa harus perlu menyaingi ketenaran duo Cinta dan Rangga. Jelas sudah, kenekatan Ernest Prakasa dalam menggarap film berlatar AADC universe ini merupakan tindakan berani mati. Tetapi, anggapan tersebut langsung runtuh sejak detik pertama film dimulai; rupanya “Milly dan Mamet” memang berhak jadi bintang utama.
Secara konsisten, film ini membuat penonton terpingkal-pingkal tidak karuan, lengkap dengan pesan mendalam yang terus menerus disampaikan, “Dicoba dulu aja, kalau tidak dicoba kan kita nggak tahu?”. Harus diakui, keputusan Miles Film dan StarVision Plus mendapuk Ernest dan istrinya, Meira Anastasia sebagai penulis naskah berbuah manis. Kendati konflik yang dihadirkan cukup umum tetapi duo suami-istri ini berhasil menyuguhkannya di layar lebar dengan luwes dibalut gurauan yang cerdas. “Milly dan Mamet” hadir tidak hanya sebagai tontonan yang sekedar lucu tapi juga sukses menginspirasi penonton lintas usia.
Film dibuka dengan adegan Mamet, yang diperankan oleh Dennis Adhiswara, yang menghadiri reuni SMA dan langsung dengan luwes menyapa geng Cinta. Kala itu, Milly tengah menjalin hubungan dengan Rama, diperankan oleh Surya Saputra, seorang bankir muda yang sangat sibuk dan tidak perhatian. Melihat Milly yang bete ditinggal sang kekasih di tengah acara akbar begitu, Mamet pun menemani. Singkat cerita, berawal dari mengantar Milly pulang selepas reuni, Mamet dan Milly pun akhirnya menjalin cinta dan akhirnya berujung ke pelaminan. Dengan sangat manis dan halus, Ernest bisa membawa penonton ke situasi setelah “AADC 2”, melalui potongan-potongan foto. Setelah kelahiran putra mereka, Milly akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja dan merawat bayinya sementara Mamet bekerja sebagai kepala pabrik konveksi milik ayah Milly, Sony, yang diperankan oleh Roy Marten.
Sejatinya, konflik yang coba diusung “Milly dan Mamet” cukup general, masih seputar passion bekerja, dan konflik menantu-mertua. Menariknya, film berdurasi 101 menit ini jauh dari kata membosankan. Pertama, Ernest mengambil keputusan tepat dengan kembali menggaet komika-komika kawakan seperti di film-filmnya terdahulu. Komika-komika yang diajak bergabung tidak hanya lucu tapi juga punya ciri khas yang makin memperkuat interaksi “Milly dan Mamet.” Misalnya, hadirnya Somad dan Iin, yang diperankan oleh Bintang Emon dan Aci Resti, yang sukses mencairkan ketegangan di pabrik konveksi ketika Mamet dan Sony saling adu argumen masalah pekerjaan.
Adegan marah-marah pun bisa dengan ajaib dikemas Ernest menjadi situasi komedi tanpa kehilangan esensi. Contoh lainnya, siapa sangka kepolosan Sari, asisten rumah tangga Milly dan Mamet yang diperankan oleh Aarafah Rianti, bisa menyaingi kelemotan Milly yang akhirnya berhasil membuat penonton melihat sisi lain Milly sebagai ibu rumah tangga yang penyayang dan perhatian.
Penampilan gemilang juga ditampilkan oleh penyanyi kawakan Isyana Srasvati yang berperan sebagai Rika, seorang asisten konyol sang bilyuner muda, James, yang diperankan oleh Yoshi Sudarso. Hadirnya Rika di film ini tidak hanya sekedar asal nyeleneh lantaran Isyana bisa dengan anehnya memberi saran percintaan pada seekor ikan mas. Rika muncul bak obat anti bosan saat adegan adu mulut di kantor mau tidak mau ditampilkan bagi penonton.
Alhasil, “Milly dan Mamet” dengan sangat cerdas berhasil keluar dari pattern konflik-konflik ala kantoran yang basi dan boring. Sayangnya, tidak semua cameo turut memiliki andil yang kuat di film ke-empat Ernest, salah satunya Eva Celia sebagai tetangga Milly. Dalam film ini, Eva berperan sebagai tetangga Milly dan Mamet yang kehadirannya tidak terlalu ada sumbangsih dalam kehidupan Milly dan Mamet kecuali numpang main dan minta minum.
Akhirnya, penonton memang harus menerima fakta bahwa “Milly dan Mamet” memang bukan Cinta dan Rangga. Tidak seperti pasangan Cinta dan Rangga yang puitis, cantik serasi layaknya pangeran dan putri, Milly dan Mamet sangat jauh dari sempurna. Sosok Rangga tampil ganteng dalam segala situasi, sementara melihat Mamet menangis bukanya membikin simpati melainkan tawa geli. Mungkin memang itulah yang hendak disampaikan oleh Ernest. Milly dan Mamet hadir sebagai contoh perjuangan pasangan muda yang real, bukan sekedar ilusi.