Menjadi sukses tentu merupakan angan banyak orang. Sukses secara materi, ataupun berhasil menggapai cita-cita. Tentu, namanya pengorbanan ataupun perjuangan sangat dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut. Cuma semuanya akan balik lagi, anda tipe orang yang seperti apa? Mudah puas, atau tipe yang penting bersyukur saja dengan yang anda miliki, atau ambisius tingkat dewa. Kali ini saya mengajak anda berkenalan dengan Brad Sloan melalui film “Brad’s Status,” yang mencoba bercerita dengan memperlihatkan sudut pandang seorang pria matang dalam memandang status dan menilai pencapaian hidupnya saat ini.
Brad Sloan, diperankan oleh Ben Stiller, merupakan pemilik sebuah lembaga non-profit yang tidak terlalu terkenal dan cukup bergantung dari para sponsor. Ia sudah memiliki sebuah keluarga kecil, yang terdiri dari istrinya, Melanie, diperankan oleh Jenna Fischer, yang merupakan seorang pegawai negri, dan juga Troy, putra tunggalnya yang diperankan oleh Austin Abrams.
Brad bercerita tentang bagaimana Ia memandang dirinya, dan membanding rekan-rekan dari masa kuliahnya di Tufts. Mereka semua telah menjadi orang, dan terbilang sudah memiliki popularitas, jabatan, hingga materi yang berlebihan. Intinya, Ia memandang teman-teman lamanya ini sudah memiliki hidup yang ukurannya sukses, dalam pandangannya. Mirisnya, Ia melihat dirinya jauh dari keempatnya. Pemikiran ini kemudian membuat untuk memandang sebagai yang tergagal, dan tidak sejajar seperti dulu kala.
Kegalauan Brad bertepatan dengan rencana tournya ke Boston untuk mencari college yang tepat untuk putra tunggalnya. Perjalanan bersama putranya ini ternyata membawanya ke dalam suatu situasi rekoleksi dirinya serta menghadapi kenyataan yang mungkin tidak pernah ia duga dari pemikirannya selama ini.
Film ini merupakan sebuah original story yang ditulis, kemudian disutradarai oleh Mike White, penulis yang membawa kita mengenal cerita komedi seru seperti “School of Rock” dan “Nacho Libre.” Tentu berbeda dengan kedua film yang saya sebut, “Brad’s Status” merupakan sebuah garapan serius. Disini, Ia menampilkan cerita yang akan mengeksplorasi karakter Brad dan bagaimana resolusinya untuk ‘berteman’ dengan statusnya.
Bicara premisnya, sebetulnya film ini menawarkan sesuatu diluar dugaan saya: Kisah seorang ayah memandu sang anak mencari sekolah sambil merenungkan kembali hidup dan pilihan-pilihannya selama ini. Sepanjang menyaksikan film ini, awalnya saya mengira jika ini mungkin akan banyak terfokus dengan dinamika hubungan ayah dan anak. Ternyata lebih dari itu. Film ini mengajak penonton untuk mengamati bagaimana keduanya kompak, ataupun berseteru, serta cara mereka membuat keputusan dalam memandang situasi di depan mereka.
Ben Stiller, aktor utama film ini, memang sudah banyak mengocok perut anda dari karakter-karakter komedinya, mulai dari “Duplex” sampai “The Little Fockers.” Namun Stiller juga membuktikan jika Ia memang mampu berakting dengan karakter serius, seperti halnya yang Ia hadirkan disini. Di film ini, walaupun ceritanya terasa agak kurang mengigit, penampilan Stiller beradu akting dengan Abrams terbilang di kisaran rata-rata.
“Brad’s Status” kurang berhasil memikat saya, walaupun punya kekuatan dari karakternya, yang ambisius, gengsi dan juga tidak mau kalah. Dalam benak Brad, Ia mungkin begitu kesal saat menyadari statusnya yang terendah dibanding rekan-rekan yang sukses. Buat saya, harusnya sebaliknya, kecuali anda termasuk dalam kelompok 1% termiskin dari seantero populasi planet ini.