Mengadu nasib di negeri Paman Sam sebagai tukang kebun adalah cara Carlos Golindo untuk bertahan hidup. Carlos, yang diperankan oleh Demian Bichir, adalah imigran gelap yang dengan gigih berjuang bekerja serabutan demi menghidupi anak semata wayangnya. Begitulah premis awal yang ditawarkan “A Better Life.”
Keduanya tinggal di sebuah rumah dengan satu kamar. Carlos cukup tidur di atas sofa malasnya, dan Luis tidur di kamar. Sebagai seorang single parent, Carlos digambarkan sebagai seseorang yang cukup memberikan kebebasan buat Luis. Sayangnya, profesi yang ditekuni Ayahnya, membuat Luis cukup malu dengan teman-temannya.
Film ini memulai kisahnya ketika Biosco yang memutuskan untuk kembali ke Mexico. Biosco, yang diperankan oleh Joaquin Cosio, adalah rekan kerja Carlos sehari-hari. Keduanya bersama-sama pergi dari sebuah rumah ke rumah yang lain untuk merawat taman-taman. Kepindahan Biosco untuk kembali ke tanah asalnya, membuat dirinya untuk menawarkan sebuah truk pada Carlos. Dengan demikian, Carlos pun tidak akan kehilangan pekerjaan dan malah dapat merekrut rekan kerja untuk membantunya.
Intimidasi dari Biosco memberikan harapan pada Carlos. Membeli sebuah truk seharga $12,000, akhirnya berhasil digondolnya lewat bantuan sang adik, Anita. Sosok Anita, yang diperankan oleh Dolores Heredia, cukup mendukung niat kakaknya walaupun Ia harus mengorbankan uang simpanannya.
Kehadiran Truk Biasco di keluarga Golindo ternyata cukup mengubah hidup Carlos. Carlos tidak perlu menunggu di jalan demi mendapat pekerjaan. Ia malah mampu untuk merekrut para imigran gelap untuk membantunya bekerja. Perkenalannya dengan Santiago, yang diperankan oleh Carlos Linares, berujung dengan malapetaka. Di hari pertama Ia bekerja, Ia malah mencuri truk milik Carlos dan menjualnya.
Lain halnya dengan Luis. Sosok Luis yang masih muda ternyata berpacaran dengan Ruthie Valdez, anak seorang pimpinan geng-geng berandal di Los Angeles. Teman Luis, Focundo, juga cukup berminat untuk bergabung dengan kawanan preman ini. Sehingga Luis dihadapkan dengan ajakan-ajakan yang tidak hanya datang dari keluarga pacarnya, tetapi juga temannya untuk bergabung.
Pencarian terhadap Santiago dan truknya yang hilang, membuat Carlos dan Luis menghabiskan waktu bersama. Singkat cerita, Santiago telah menjual mobil tersebut pada sebuah pasar gelap, dan telah mengirim uang untuk keluarga di kampung. Aksi pencurian pun dilakukan Carlos dan Luis. Usahanya untuk menjadi imigran gelap yang baik pun gagal, dan harus berakhir di kantor imigrasi.
Sepanjang satu setengah jam, Chris Weitz, sutradara film ini, menawarkan sebuah suguhan tontonan yang sederhana. Walaupun ceritanya simple, namun eksplorasi hubungan ayah dan anak di dalam film ini menjadi salah satu inti dari kisahnya. Sosok Carlos yang gigih, sabar namun tidak cerdik, harus dihadapkan dengan Luis yang agak keras kepala tetapi cerdik. Walaupun menghasilkan sebuah resolusi konflik yang cukup menyenangkan di antara keduanya, film ini tetap tidak menggaransi sebuah ending yang mulus bagi keduanya.
Tidak hanya disitu saja, eksplorasi Weitz pada imigran-imigran gelap asal negeri Latin di Los Angeles, cukup realistis. Memperlihatkan sisi dark side dari kehidupan jalanan Los Angeles yang kelam hingga keramaian tempat rodeo dengan nuansa Mexico, menjadi tayangan ekplorasi budaya para Mexican yang hidup di Amerika. Weist juga menggunakan sebagian besar cast yang berdarah Latin, dan naskah yang bilingual, menjadi salah satu hal yang sebetulnya tak lazim buat penonton Hollywood ataupun Mexico. Weitz dengan realistis menggambarkan bagaimana kehidupan para imigran gelap yang berusaha hidup diam-diam dengan baik, demi mencari kehidupan yang lebih layak.
Sosok Bichir dalam film ini sebagai Carlos, menurut saya cukup meyakinkan. Yang membuat saya tertarik dengan sosok Carlos Golindo dalam film ini adalah sikapnya yang selalu memiliki harapan serta kesabarannya, walaupun diterjang badai bencana tanpa henti, terutama saat Ia berusaha menjadi sosok Ayah yang mencoba terus mengerti Luis yang tidak berbalas sama. Yang menarik, ketika Bichir melakukan panjat pohon palem dengan cukup berbahaya di dalam film ini ternyata tidak menggunakan doubles. Tidak heran, perannya dalam film ini membuahkan sebuah nominasi Academy Awards 2012 untuk kategori Best Actor in Leading Role.
Film ini sebetulnya merupakan sebuah kisah yang berjudul “The Gardener”, yang dikarang oleh Roger L. Simon, yang kemudian di adaptasi oleh Eric Eason. Dalam pembuatan film ini, terdapat juga beberapa perubahan pada naskahnya, demi dapat menggambarkan secara nyata slang jalanan yang digunakan di Los Angeles.
Komposisi score di dalam film ini digubah oleh Alexandre Desplat. Desplat, dengan ciri khasnya, menghadirkan nada-nada cepat yang tidak beraturan, namun menyatu di beberapa bagian film ini. Saya memang tidak menyangka ketika baru mendengar opening score film ini dan dengan mudah menebak bahwa ini adalah gubahan Desplat.
Secara keseluruhan, saya cukup menikmati kisah film ini yang akan menyentuh hati penonton lewat kisahnya yang sangat sederhana. Menurut saya, bagian yang paling menarik adalah adegan resolusi dua karakter utamanya, ketika keduanya saling berbicara hati ke hati di ruang imigrasi, sebelum Carlos di deportasi ke Mexico. Ada sebuah ucapan yang menarik dari Carlos pada Luis, “The one thing that helped me get over all that… was you. To able to take care of you, and watch you grow. Because I love you. You are the most important thing in this world to me, mijo. I… I wanted you to be able to be anything you wanted to be. That would make me feel worthy. If you became somebody. That’s why I had you. For me. For me. For a reason to live.”