Because no man can be friends with a woman that he finds attractive. Harry Burns jelas salah besar! Sambil tersenyum lebar setelah keluar dari bioskop, kembali saya meyakini bahwa Harry Burns di film “When Harry Met Sally” salah banget saat bilang bahwa pria dan wanita tak bisa berteman. Jelas, ini karena Harry Burns belum kenal pasangan Ditto dan Ayu! Menonton kisah cinta Ayudia dan Ditto, secara tak terduga menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Sudah menjadi rahasia umum, mengadaptasi sebuah cerita dari buku, bukan perkara mudah. Banyak cerita yang terasa janggal saat diangkat ke layar lebar. Bagusnya, “#TemanTapiMenikah” dieksekusi dengan sangat baik sehingga penonton tidak merasa menjadi ‘nyamuk’ yang asing dan risih menonton dua insan yang mabuk kepayang selama 102 menit. Dengan sangat lihai, “#TemanTapiMenikah” mengajak penonton masuk, ikut kesal, sedih dan tertawa menikmati kisah perjuangan cinta 12 tahun.
Disutradarai oleh sutradara kenamaan Rako Prijanto, “#TemanTapiMenikah” bercerita tentang Ditto, diperankan oleh Adipati Dolken, yang naksir setengah mati pada Ayu, sahabat sejatinya sejak SMP yang diperankan Vanesha Prescilla. Bukan semerta-merta karena Ayu artis terkenal, Ditto justru jatuh hati pada Ayu karena sifatnya yang easygoing, EGP (emang gue pikirin), tomboy dan natural tanpa dibuat-buat. Sayangnya, setelah sekian lama berusaha keluar dari pedihnya zona friendzone, Ditto tak kunjung berani mengungkapkan perasaannya pada gadis pujaannya tersebut. Ia harus menerima kenyataan bahwa Ayu pun berhak mencintai pria lain, karena toh tidak ada yang bisa memilih pada siapa hati akan berlabuh. Persahabatan Ditto dan Ayu masih terus berlanjut bahkan hingga keduanya memantapkan hati untuk menjalin hubungan dengan pilihan masing-masing. Sayangnya, walau telah berusaha menjatuhkan hati pada wanita lain, Ditto tidak bisa melupakan Ayu. Di luar dugaan, di saat Ditto siap menyatakan perasaannya, Ayu justru muncul dengan kabar bahwa dirinya telah dilamar!
Sejatinya, tidak mudah mengadaptasi sebuah cerita dan mengangkatnya ke layar lebar. Ada kalanya filmmaker tidak berhasil menerjemahkan bahasa novel ke dialog antar aktornya, hingga film terasa cheesy dan cemplang. Ada kalanya pula, durasi film jadi kepanjangan, durasi molor bukan main, lantaran sang filmmaker ngotot menampilkan seluruh aspek cerita pada film. Di sinilah letak peranan penting kolaborasi sutradara dan penulis naskah menjadi sangat vital. Beruntung, “#TemanTapiMenikah” digarap oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Film produksi Falcon Pictures ini disutradarai oleh Rako Prijanto, sutradara kenamaan yang dikenal sebagai penulis puisi Rangga di film “Ada Apa Dengan Cinta?”. Tak ketinggalan, nama besar seperti Upi dan Johanna Wattimena pun turut andil meracik skenario yang sangat rapi dan real. Eksekusi ketiga nama di atas sukses membuat penonton tidak sekedar menonton “#TemanTapiMenikah”, tapi secara tidak langsung juga merasa dicurhati oleh Ditto, kesal melihat Ayu yang tak kapok-kapok kencan dengan Darma, juga tertawa saat keduanya saling meledek. Penggunaan gaya bahasa lo gue, juga bagaimana Ayu dikenalkan kepada penonton dengan nama panggilan Ucha, membuat penonton merasa seolah-olah kisah cinta keduanya tidak eksklusif. Padahal, bisa dijamin penonton sebenarnya dari awal tahu bahwa Ditto pada akhirnya akan bersatu dengan Ayu. Tapi, “#TemanTapiMenikah” sukses membuktikan bahwa jalan cerita yang predictable tidak berarti film lantas jadi membosankan! Buktinya, mata penonton dimanjakan dengan warna-warna cerah sepanjang film yang rupanya sukses menghalau kantuk. Gerimis di Jalan Braga, Bandung yang sudah sangat biasa pun, bisa disulap layaknya gerimis ala Paris!
Tidak hanya itu, kesuksesan film “#TemanTapiMenikah” juga didukung oleh peran prima seorang Adipati Dolken. Walaupun di awal-awal kemunculan Adipati sebagai Ditto SMP dengan wig agak nggak banget, tapi penampilannya tetap harus diacungi jempol. Di usianya yang ke-26 tahun, penonton sukses ‘dikibulin’ dengan pembawaannya yang natural hingga percaya saja melihat Adipati berseragam putih abu-abu. Sayangnya, walaupun chemistry antara Adipati dan Vanesha terasa klop, kualitas acting Vanesha tetap terlihat kurang maksimal. Harus diakui, sulit rasanya ikut merasa sedih saat melihat Vanesha menangis di kamar saat putus dengan Darma, atau saat ia menangis di pinggir jalan seusai dibonceng naik Vespa. Vanesha yang digambarkan tiba-tiba terisak sedih, rupanya sama sekali tak keluar air matanya ketika disorot dari dekat. Kesan tanggung makin terasa, saat penonton diajak flashback, dan melihat scene-scene ulangan dari sudut pandang Ayu. Seandainya, Vanesha bisa mengolah rasa sedih menjadi lebih natural, penonton pastinya akan ikut mewek, ikut merasa sedih ditinggal Ditto kuliah ke Bandung. Juga, andai kata Vanesha mampu menyalurkan kekecewaan-nya lebih dalam saat melihat Ditto bergandengan dengan Mili sepulang sekolah, salah satu pacarnya yang diperankan oleh Cut Beby Tsabina, penonton akan bisa melihat bahwa sebenarnya Ayu pun ada rasa dengan Ditto. Penampilan Vanesha yang kurang prima membuat penonton gagal melihat personality Ayudia yang lainnya, selain sekedar gemar tertawa dan riang.
Poin plus lainnya, walau di beberapa bagian terkesan agak berlebihan, pemilihan kostum di film “#TemanTapiMenikah” harus diacungi jempol. Misalnya, melihat Ayu dan Ditto ke prom mengenakan gaun, lalu melihat Ditto dibalut outer panjang tentunya tidak sah-sah saja. Tapi masa iya, orang tua Ayu hanya bilang hati-hati tanpa takut gaun yang menjutai bak kostum princess itu kejiret ban motor? Tapi, tentu saja kekurangan di atas tidak terlalu penting melihat suksesnya kisah Ayu dan Ditto menginsiprasi para penonton. Secara keseluruhan, “#TemanTapiMenikah” tetap menjadi film yang tepat untuk mempermanis akhir pekan! Jangan lupa, bawa teman saat menonton. Siapa tahu bisa ikut menikah, eh!