Masih teringat dengan jelas nyinyiran saya saat menyaksikan trailer film ini di bioskop. “Dilan 1990” ternyata malah membangun rasa keingintahuan selama ini. Ini jahat sih. Akhirnya saya berhasil untuk menyaksikan film ini dengan cara yang diungkapkan teman saya: ‘Gw pengen nonton tapi gak mau tambah jumlah penonton-nya.’ Terwujud akhirnya. Ta dah! Ini review saya.
Milea, yang diperankan oleh Vanesha Prescilla, menuturkan kisahnya di tahun 1990. Ia mulai dengan tempat tinggal baru keluarganya di Bandung, yang mengikuti kepindahan dinas ayahnya. Ia meninggalkan Ibukota, sekaligus Beni, pacar Milea yang diperankan Brandon Salim. Kepindahannya ke sekolah baru, ternyata malah membuatnya dengan mudah untuk menjadi ‘sekretaris kelas.’ Juga, seorang siswa super nakal yang mengaku sang peramal. Ialah Dilan.
Dengan cara yang begitu agresif, Dilan, yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, mampu menyihir dengan kalimat-kalimat ‘receh’-nya. Sedari awal hingga akhir, saya menyadari jika Milea pun akhirnya ‘klepek-klepek’ dan ikut dengan permainan kalimat serta teka-teki Dilan. Salah satunya, “Sekarang kamu tidur. Jangan begadang. Dan, jangan rindu. … Berat. Kau gak akan kuat. Biar aku saja.” Duh, dek Dilan!
Ceritanya sendiri sebetulnya diambil dari novel laris karangan Pidi Baiq yang sudah sampai ke buku ketiga. Bersama Titien Wattimena, penulis film “?” dan “Mengejar Matahari,” keduanya menggarap nashkahnya. Alhasil, “Dilan 1990” hampir seluruhnya menyajikan apa yang ada di novel. Ini berarti pembacanya tidak akan kecewa. Apalagi dengan ending di film ini yang secara eksplisit memberitahukan kelanjutan berikutnya: “Dilan 1991.”
Membahas ceritanya, sebetulnya percintaan masa SMA sudah bukan jadi salah satu hal asing di film Indonesia. Sudah banyak film Indonesia yang mengangkat kisah remaja dan menjadi hits. Sebut saja “Ada Apa Dengan Cinta,” “Refrain,” ataupun remake “Galih dan Ratna.” “Dilan 1990” patut diakui sebagai salah satu hits di 2018, dan sudah berhasil menyerap lebih dari 6 juta penonton saat tulisan ini dirilis. Ini sebuah prestasi untuk mengalahkan “Habibie dan Ainun,” “Danur” ataupun “Laskar Pelangi.” Walaupun terasa overrated, “Dilan 1990” punya ciri khas “menye-menye” yang tetap membuat kita terkesan.
Untung, karakter Milea dihadirkan sebagai ‘gadis pujaan semua.’ Mulai dari Dilan, si ketua kelas, guru, guru les privat, sampai Ibu Dilan pun takluk dengan paras cantiknya. Coba bayangkan kalo Ia tidak berparas cantik dan biasa saja. Pasti ceritanya tidak akan begini. Yah, begitupun Vanessa Prescilla. She would be the next Indonesia’s sweetheart! Gara-gara nonton ini saya menjadi semakin penasaran dengan penampilannya sebagai Ayudia di film berikutnya, “#TemanTapiMenikah.” Penampilannya sebagai tokoh utama di “Dilan 1990” mungkin terasa begitu saja, tapi saya lumayan menikmati chemistry yang dibuat keduanya.
Begitupun Iqbaal Ramadhan, penyanyi jebolan Koboi Junior yang memerankan sosok Dilan. Awalnya, saya merasa sedikit risih dengan kalimat-kalimat baku berisi kata-kata gombalnya. Ternyata, seiring menyaksikan ceritanya, Iqbaal memang punya potensi untuk ‘meluluhkan’ penontonnya dan berhasil menjadikan percakapan-percakapan garing itu menarik untuk ditonton.
Film yang sudah keburu hype, chemistry Iqbaal-Vanessa, dan ceritanya adalah tiga hal kesuksesan “Dilan 1990” buat saya. Jeleknya, saya merasa iringan musik film ini terasa terlalu mau menyaingi ceritanya dengan mendominasi untuk hadir hampir di sepanjang film. Kalau terasa outstanding sih tidak apa. Sayang, biasa saja. Begitupun dengan kesan 90-an yang terasa ‘hambar.’ Biasanya film-film bertema period suka terasa sukses untuk menghadirkan jaman tersebut. Terbalik di film ini. Jika diperhatikan dengan seksama karakter Milea punya rambut yang terlalu kekinian. Juga, saya tidak ada rasa jaman 90-an selain foto Soeharto-Soedarmono yang terpampang di atas papan tulis ataupun ‘Cerdas Cermat TVRI.’ Sisanya, semua terasa kekinian. Jangan berharap untuk suatu nostalgia 90-an.
Film yang disutradarai Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini hadir sesuai ekspektasi saya: tidak bagus serta tidak jelek. Walaupun saya merasa ceritanya biasa saja, ciri khas gombal receh dan penuh hal tak terduga dari seorang Dilan malah jadi overrated. Faktor ini mungkin yang akan menjadi pengingat saya dengan film ini. Kapan lagi anda akan dengar pesan seperti ini: “Selamat ulang tahun Milea. Ini hadiah untukmu, Cuma TTS. Tapi sudah kuiisi semua. Aku sayang kamu. Aku tidak mau kamu pusing karena harus mengisinya. Dilan!” Duh! Wkwkwk…