Sebagai salah satu horror yang cukup saya tunggu di tahun ini, “Pengabdi Setan” sudah berhasil memberikan ekspektasi besar saat trailer pertamanya muncul di Youtube. Sama seperti film “It” yang baru tayang, film horor ini juga merupakan sebuah remake. Remake dari salah satu cult horror terbaik dari negeri ini.
Berbeda dengan cerita film aslinya, dalam versi terbarunya cerita terpusat pada keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, Nenek, dan 4 orang anak. Ibu mereka, yang diperankan oleh Ayu Laksmi, merupakan seorang penyanyi lawas yang tengah sakit keras. Sakitnya sang Ibu selama ini ternyata memberikan guncangan bagi perekenomian keluarga mereka. Ini membuat putri sulung keluarga ini, Rini, yang diperankan oleh Tara Basro, kemudian berniat untuk menagihkan royalti di perusahaan rekaman tempat sang Ibu bernaung.
Sesampai disana, Ia hanya mendapatkan sebuah amplop sekaligus diberitahu jikalau karya Ibunya sudah tidak laku di pasaran. Tidak hanya Rini saja, Tony, anak kedua yang diperankan oleh Endy Herfian, juga harus merelakan motor miliknya. Kehidupan yang semakin sulit juga membuat ayah mereka, yang diperankan oleh Bront Palarae, untuk menggadaikan rumah yang mereka tinggali sekarang, yang sebetulnya milik nenek mereka.
Waktu yang tidak diharapkan ternyata datang. Ibu kemudian meninggal. Sepeninggal sang Ibu, keadaan di rumah ternyata menjadi semakin menyeramkan. Hal ini belum ditambah dengan kepergian sang Ayah keluar kota untuk mencari nafkah. Seluruh anggota rumah satu per satu diganggu oleh makhluk halus. Hingga akhirnya terkuaknya sebuah misteri. Misteri dari keluarga mereka yang selama ini.
Film ini disutradarai oleh Joko Anwar, yang sebelumnya berhasil membawa nama Indonesia di Venice Film Festival lewat “A Copy of My Mind.” Proyek ini film terbilang merupakan salah satu proyek ambisiusnya. Mendaur ulang kembali klasik garapan Sisworo Gautama Putra itu merupakan keinginan Anwar sejak lama, yang terpesona dengan versi aslinya. Hasilnya, Ia terbilang berhasil. Menyaksikan versi terbaru ini seperti menaikkan kelas pendahulunya. Film ini berhasil menghadirkan suasana yang mencekam buat penonton hampir sepanjang film. Sekaligus juga, ini merupakan film produksi Indonesia pertama yang dibuat ke dalam format 4DX.
Selama penggarapannya, Anwar mengakui jika pemilihan lokasi merupakan yang paling sulit dalam film ini. Sebab Ia perlu mencari lokasi dengan suasana yang tepat. Menurut saya, tempat yang dipilih dalam film ini cukup tepat. Sebuah rumah yang dilatari perkebunan teh dan pinus, ditambah dekor latar area pemakaman di bagian belakang. Ditambah dengan dominasi pengambilan gambar yang agak sedikit gelap, semuanya jadi pas. So creepy!
Unsur musik di film ini juga digarap dengan cukup oke. Saya suka dengan psychoacoustic yang sengaja dihadirkan demi memancing ketakutan penonton. Begitupun dengan salah satu lagu lawas milik Anna Mathovani yang berjudul “Di Kesunyian Malam.” Ini sedikit mengingatkan saya dengan horor buatan Hanung Bramantyo di tahun 2005, “Lentera Merah” yang juga sedikit mengandalkan lagu lawas sebagai penambah keseraman. Bramantyo menggunakan lagu eyang Titiek Puspa yang berjudul “Puspa Dewi.”
Sayang, saya masih menemukan beberapa goofs di film ini serta editan yang kurang rapi saat menyaksikan film ini. Misalnya, saat adanya perpindahan kamera ada beberapa adegan dimana aktornya sudah dengan posisi yang berbeda.
Bicara pemainnya, saya suka dengan akting Tara Basro di film ini. Basro yang sebetulnya juga penakut, bisa membuat penonton terkejut dengan teriakannya yang menggelegar kemana-mana. Selain itu, saya juga menyukai penampilan M. Adhiyat yang berperan sebagai Ian, putra terbungsu di film ini. Adhiyat menggunakan bahasa isyarat hampir di sepanjang perannya, dan Ia bisa menampilkan kesan innocent but a mysterious one di film ini. I like it…
Kalau ceritanya, yang dikemas Joko Anwar sendiri, perlu diakui kalau versi ini lebih matang. Anwar seakan memancing tanda tanya penonton lewat adanya misteri sekte-sekte terlarang, sampai kehadiran Darminah dan Batara yang cuma muncul di penghujung film. Adegan menari Fachry Albar dan Asmara Abigail sebagai ending credits scene, ternyata berhasil ‘menipu’ seisi teater bioskop saya waktu itu, because they was expecting an additional scene! So, Mr. Anwar, would be any sequel for this?
Awalnya saya mengira jika film ini punya ‘cerita yang persis sama.’ Ternyata tidak. Anwar membuatnya perbedaan yang cukup banyak. Seperti tidak adanya Darminah si pembantu, karakter-karakter yang berbeda, sampai ending yang berbeda. Yang terkesan sama mungkin dari bagaimana emosi dan kesan horor yang ditampilkan. Bila “Pengabdi Setan” versi jadul merupakan salah satu horor yang bernuansa Islami awal-awal kala itu, di versi ini Joko Anwar tidak memberi bobot religius yang sama. Ini yang saya sukai. Tidak ada perlawanan antara kekuatan religius dengan iblis. Yang ada, sosok ustad disini malah sebetulnya hampir ‘tidak terlalu membantu,’ jauh berbeda dengan aslinya. Juga, saya menyukai kejutan Anwar di bagian penghujung cerita, yang membuat ceritanya semakin menarik untuk dinikmati.
In conclusion, this is awesome! “Pengabdi Setan” berhasil sedikit meningkatkan optimisme saya dengan kualitas horor film Indonesia saat ini. Joko Anwar terbilang berhasil untuk memainkan ekspresi para penontonnya yang campuraduk, mulai dari menutup mata, telinga, teriakan hingga menutup wajahnya dari adegan-adegan seramnya. Atau mungkin seperti teman saya yang akhirnya cukup ‘parno’ setelah menonton film ini. Sayang, walaupun sudah sangat seram, saya masih belum ketakutan seperti saat saya menyaksikan “It.” Paling tidak, Joko Anwar sudah berhasil me-remake filmnya dan membawanya ke level yang lebih tinggi. Thumbs up!