Film ini kembali mengingatkan saya sewaktu kecil, saat saya sedang mengantre di McDonald’s dan senang untuk memutar jam waktu berdurasi 30 detik yang terpampang diatas mesin kasir. Yeah, McDonald’s dapat dikatakan merupakan salah satu pemain utama yang handal di operation managementnya untuk sektor fast food. Mereka berani untuk menyiapkan pesana konsumen dalam waktu 30 detik saja. Itulah yang membuat Ray Kroc memutuskan untuk mengembangkan franchise American restaurant ini. “The Founder” mengisahkan perjalanan Ray Kroc, bagaimana Ia bisa menjual franchise McDonald’s hingga menjadi satu-satunya karyawan yang bisa meng-klaim untuk mendirikan perusahaan tempat Ia bekerja.
Ray Kroc, yang diperankan oleh Michael Keaton, adalah seorang salesman mesin pembuat milkshake. Ia berkeliling dari sebuah restoran drive-in ke restoran lainnya, dan cukup dipenuhi dengan banyak penolakan pahit. Suatu saat, sekretarisnya, June Martino, yang diperankan oleh Kate Kneeland, memberikan informasi bahwa produk yang dijualnya mendapatkan pesanan sebanyak 5 buah dari sebuah restoran di San Bernardino, California. Cukup terkejut, dengan berbekal tumpukan uang receh, Ia menelepon restoran tersebut. Ia kemudian berbicara dengan salah seorang pemiliknya, Dick, yang diperankan oleh Nick Offerman. Perbincangan singkat tersebut ternyata malah menambah jumlah pesanan menjadi 8 buah. Kroc kemudian berencana untuk mendatangi restoran tersebut.
Ia menaiki mobilnya dan melewati perjalanan yang cukup panjang, dari Illionis ke California. Setiba disana, Ia dikejutkan dengan kehadiran restoran McDonald’s, sebuah restoran dengan area parkir yang luas. Menariknya, tanpa ada rollerskate server, pengunjung harus rela antre untuk memesan pesanan mereka. Lebih menariknya lagi, ketika anda memesan, makanan sudah tersedia. Inilah yang menarik perhatian Kroc untuk mengenal lebih dekat dengan kakak-beradik pemilik restoran ini, Dick dan Mac.
Beruntungnya, Ia bertemu dengan Mac, yang diperankan oleh John Carroll Lynch. Pertemuan keduanya kemudian berlanjut dengan adanya sedikit office tour, dan Kroc dibuat terkesima dengan proses produksi restoran ini. Apalagi dengan sosok Dick, yang sangat concern pada kualitas produk yang dijualnya. Pertemuan tersebut ternyata berlanjut dengan edisi makan malam, dimana kedua pemilik ini menceritakan kisah sukses mereka.
Keesokan harinya, Kroc memiliki ide baru: franchise. Ia memiliki ide untuk menjual franchise McDonald’s sehingga bisa dibangun beberapa jaringan franchise di sepanjang Amerika, coast to coast. Sejalan dengan impian Dick, dengan pertimbangan besar keduanya akhirnya memutuskan untuk memperkerjakan Kroc. Disinilah kisah berawal.
Film ini disutradarai oleh John Lee Hancock, sosok sutradara yang lumayan terkenal dengan karya-karya film biografinya, seperti “The Blind Side” ataupun “Saving Mr. Banks.” Kali ini, Ia dibantu dengan Robert D. Siegel yang menulis ceritanya, yang juga merupakan penulis film “Turbo” dan “The Wrestler.” Film berdurasi sepanjang 115 menit dirilis secara terbatas pada 7 Desember 2016, guna masuk ke dalam bagian awards seasons waktu itu. Sayang, film ini gagal masuk ke perhelatan berbagai ajang, dengan tidak mendapat satu nominasi pun. Di Indonesia sendiri, poster film ini pun sempat dipajang di beberapa bioskop. Sama nasibnya, hingga kini, belum ada bioskop Indonesia yang menayangkan film ini.
Bila memaknai film ini, sebetulnya film garapan Hancock ini terbilang sebuah film bermutu. Tepatnya, a movie for business learners or business students. Ada banyak hal yang diangkat oleh film ini, yang merupakan topik-topik jika anda mengambil kuliah Manajemen. Misalnya saja tentang franchise, quantity versus quality, quality management, operations management, hingga company ownership. Kita seakan belajar dari salah satu perusahaan restaurant chain terbesar di dunia.
Akan tetapi, penonton juga akan belajar kalau di dalam dunia bisnis, “It’s all about competition!” Kita dapat melihat bagaimana sosok Kroc yang persistence berusaha untuk bisa bergabung dengan tim McDonald’s, lalu Ia mengembangkannya, dan kemudian seakan ‘mendepak’ kedua pemiliknya dan seraya mengatakan dirinya merupakan ‘The Founder.’ Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan Kroc sepenuhnya. Keterbatasan yang Ia miliki dan pengawasan yang sangat ketat kadang malah menyulitkannya, dan membuat Ia berlaku demikian.
Yang saya sukai, penokohan Ray Kroc di film ini tidak selamanya seakan perfect main character. Kroc diumpakan seperti protagonist di awal cerita dengan segala kesusahan dan menuai simpati, lalu berubah menjadi seorang yang antagonist di dalam cerita yang seakan mau mengambil apa yang bisa diambilnya dan membuang orang-orang yang dulu bersamanya, termasuk istrinya. Saya ingat kutipannya, saat Ia menanggapi permintaan istrinya saat proses perceraian yang meminta bagian dari hasil bisnisnya, “That’s never happen. I would sooner die, than give her one share of stock in McDonald’s.” Ucapan ini seakan memberikan sinyal positif kalau Kroc merasa istrinya saat itu, Ethel, kurang mendukungnya.
Yup, Kroc memang bukanlah sosok yang menginspirasi. Keangkuhannya tidak membuat saya untuk terpesona dengan kemegahan bisnis yang berhasil dikembangkannya. Malah sebaliknya, film ini malah seakan membangun simpati para kedua pendiri McDonald’s. Baiknya, film yang ditulis oleh Siegel ini lumayan banyak berisi fakta-fakta dibanding dramatisasinya.
Michael Keaton seakan berada dalam titik puncaknya. Setelah sukses dengan “Birdman” ataupun “Spotlight,” aktor veteran ini seakan mampu dinilai oleh publik bahwa Ia aktor yang benar-benar bisa berakting. Dalam “The Founder,” saya merasa Keaton menunjukkan sebuah penampilan yang lumayan menarik, apalagi dengan penokohan dari ceritanya yang memang cukup jelas.
Sayang saja, salah satu kelemahan film ini adalah dari cerita. Ya, cerita. Saya merasa dengan berbagai kekuatan yang sudah saya paparkan di atas, film ini kadang tidak melakukan eksekusi pada setiap konflik yang dibuatnya. Setiap ‘goncangan’ dalam kehidupan Krocs seakan hanya berakhir dengan bagian berikutnya, tanpa ada penjelasan jelas atau langkah apa yang membuat Krocs bisa melewati hal tersebut.
Salah satunya adalah saat Krocs yang sudah berhasil mengembangkan McDonald’s namun dipanggil oleh Bank akan aksi penggadaian rumahnya, tidak diceritakan apa yang dilakukan Krocs saat itu setelah Ia mendatangi pihak lender. Yang ada, Ia malah bertemu dengan calon pegawainya, Harry J. Sonneborn, dan berlanjut dengan hal yang lain. Ini membuat “The Founder” berisi dengan tumpukan-tumpukan konflik dan masalah, dan hanya berlanjut-lanjut tanpa ada kejelasan yang berarti.
Overall, film ini terbilang lumayan. Diperankan dengan baik, disutradarai dengan lumayan oke, walaupun dengan sisi penceritaan lumayan akurat secara historis, namun terasa masih kurang jelas diceritakan. In the end, saya lumayan teringat dengan ucapan Kroc di film, “Business is war. It’s dog eat dog, rat eat rat. If my competitor were drowning, I’d walk over and I’d put a hose right in his mouth.” Jadi, mana yang Anda pilih: menjadi seperti kedua pendiri McDonald’s yang lebih memilih kualitas dan memiliki hidup yang sepantasnya saja; atau menjadi seperti Kroc, yang lebih memilih menjadi pemenang, ingin bisa mendapatkan segala yang Ia inginkan, walaupun pada akhirnya terkesan seperti seseorang yang serakah; dibutakan oleh uang.