Menyaksikan film asal Kamboja pertama saya, “Rice People” terbilang pilihan yang cukup tepat. Film yang terpilih in competition dalam Cannes Film Festival 1994 ini, berusaha menghadirkan situasi yang merupakan jeritan akan kritik penguasaan Khmer Merah di Kamboja.
Film ini terpusat pada sebuah keluarga. Poeuv, sang ayah diperankan oleh Mom Soth, memiliki beberapa bidang tanah yang digarapnya untuk bertani padi. Ia dibantu Om, istrinya yang diperankan oleh Peng Phan. Mereka berdua juga kadang ditemani oleh putri-putrinya, terutama yang tertua, Sakha, yang diperankan oleh Chhim Naline.
Kekuatiran Poeuv cukup muncul ketika Ia melakukan argumentasi dengan Om, membahas akan masa depan mereka, serta bagaimana mewariskan lahan padi mereka bagi anak cucu mereka. Mereka sendiri memiliki 7 orang anak, jumlah yang lumayan banyak. Suatu hari, saat keduanya sedang di sawah mereka, Om dikejutkan dengan kemunculan seekor ular. Ia kemudian memanggil suaminya dengan histeris, sambil tidak menggerakkan tubuhnya. Seketika itu juga, Poeuv langsung membunuh ular jantan yang dianggapnya menyakiti istrinya.
Tak lama kemudian, malapetaka pertama terjadi. Poeuv yang sedang menggarap sawah, tiba-tiba tertusuk dengan sebuah duri. Kondisi ini membuatnya harus rela untuk ‘libur’ tidak menggarap sawah dan khawatir bila terlambat dengan petani-petani yang lain. Luka di kaki tersebut, ternyata semakin memburuk. Hingga akhirnya Poeuv pun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Tanpa Ayah, Om seakan mendapatkan sengatan listrik penuh beban. Ia harus menggarap sawah miliknya dibantu anak-anaknya. Belum lagi kapasitas mereka yang tidak sekuat Ayah mereka. Goncangan ini membawa Om ke dalam situasi baru: stress dan mengalami gangguan mental. Ketika sang Ibu harus berjuang untuk melawan masalahnya sendiri, putri tertua mau tidak mau harus turun tangan demi keberlangsungan kehidupan keluarga mereka. Seperti kata Poeuv, “Bila kalian satu, kalian mudah dipatahkan. Tapi jika kalian bertujuh, kalian sulit dikalahkan. Kalian harus dekat seperti kumpulan jari-jari.”
Yang perlu jadi perhatian di sini adalah Anda harus siap untuk mengarungi filmnya yang sepanjang 125 menit, dan terasa cukup lama. Saya perlu menyaksikan film ini beberapa kali, dan kadang, perlu jeda untuk mampu bertahan menyelesaikan ceritanya. Ceritanya sendiri diangkat dari sebuah novel karangan penulis asal Malaysia, Shahnon Ahmad, dengan judul novel “Ranjau Sepanjang Jalan.” Sebelumnya, sudah ada adaptasi film pada novel Ahmad dengan judul yang sama dengan novelnya, buatan Malaysia di tahun 1983.
Film ini sendiri disutradarai oleh sutradara asal Kamboja, Rithy Panh. Panh mendedikasikan featured film non-documentaries pertamanya ini untuk keluarganya, yang menjadi korban setelah peristiwa genosida pada pemerintahan Khmer Merah pada tahun 1975-1979. Ia sendiri berhasil melarikan diri ke Thailand pada 1979, sebelum akhirnya pindah ke Perancis.
Bicara penyajiannya, film ini berhasil menggambarkan potret kehidupan para petani. Bagaimana mereka merawat tanaman padi mereka seperti anak sendiri. Melihatnya setiap hari ke sawah, dan selalu mencari cara untuk membasmi para hama. Mulai dari kepiting dan burung, hingga membuat orang-orangan sawah.
Di film ini, penampilan aktris Peng Phan, yang berperan sebagai Om, adalah favorit saya. Walaupun Ia akan mengalami gangguan kejiwaan, Peng Phan berhasil menghadirkan suasana teatrikal dalam setiap kehadirannya. Mulai dari karakternya yang awalnya fine, namun berubah jadi sosok monster yang perlu ditaklukkan. Phan seakan menyatu dengan kekuatan pengambilan gambar Jacques Bouquin yang kadang terasa cukup sinematik.
Sepertinya, film ini terasa sebagai sebuah kritik. Sosok Sakha adalah wakil dari generasi muda di Kamboja, yang mau tidak mau harus menatap masa depan mereka, seperti layaknya Sakha yang memutuskan untuk bertani. Juga, penggambaran kedua orangtua Sakha yang digambarkan punya derita masing-masing. Namun penderitaan yang dialami oleh keduanya tidak mengurungkan niat Sakha dan adik-adiknya untuk bertahan hidup. Walaupun terasa cukup miris menyaksikan film ini, terutama pada kondisi pemeran-pemerannya, penonton akan mendapatkan banyak pesan serta cerita yang tidak hanya berlaku bagi para Cambodian, tetapi juga orang-orang lainnya untuk tetap tidak menyerah pada keadaan mereka. Powerful!