Berasal dari sebuah adaptasi novel bestseller, “Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children” adalah salah satu karya Tim Burton yang paling saya tunggu dibanding “Alice Through the Looking Glass.” Mungkin selain karena prekuel film tersebut yang terasa biasa saja. Juga karena saya cukup penasaran dengan kolaborasi kedua Burton dengan Eva Green.
Cerita film ini sebetulnya tidak terpusat pada karakter Miss Peregrine, yang diperankan oleh Eva Green. Akan tetapi, terfokus pada karakter Jacob ‘Jake’ Portman, seorang remaja 16 tahun yang diperankan Asa Butterfield. Jake semenjak kecil sering mendengar sebuah dongeng yang berasal dari kisah nyata sang kakek. Kakeknya, yang bernama Abe Portman, diperankan oleh Terence Stamp, menceritakan tentang sebuah rumah yang khusus menjaga anak-anak peculiar.
‘Peculiar’ dalam bahasa Inggris dimaknai dengan arti aneh. Dalam film ini memang demikian, tetapi saya lebih menyukainya bila diartikan dengan ‘spesial.’ Layaknya para mutant dalam franchise ‘X-Men,’ begitupun dengan anak-anak tersebut. Mereka dirawat oleh seorang Ymbryne yang bernama Alma Peregrine. Ymbryne sendiri adalah sebuah sebutan bagi para perempuan yang bisa mengubah diri mereka menjadi burung. Tidak hanya bertranfigurasi, tetapi mereka punya kemampuan penting untuk membuat lingkaran waktu, yang kadang membuat mereka diperlukan untuk melindungi para peculiar lainnya.
Namanya juga adaptasi. Pasti akan banyak orang yang punya ekspektasi tinggi dengan visualisasi imajinasi Burton dengan novel ini. Seperti biasanya, Burton tetap menghadirkan nuansa dark. Di versi kali ini tentu permainan CGI tetap jadi unggulan guna merealisasi kisah fantasi ini. Untungnya, saya belum pernah membaca novelnya. Maka dari itu, mungkin saya tidak sependapat dengan orang-orang yang menganggap ceritanya dikemas ya begitu saja. Menurut saya, di film ini Burton berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang cukup menghibur, walaupun bukan sesuatu yang berbekas.
Lead actor film ini adalah salah satu aktor favorit saya, Asa Butterfield. Sejak menyaksikan aktor ini di “The Boy in the Striped Pyjamas”, lalu “Hugo” hingga “Ender’s Game,” saya tetap masih belum bosan. Butterfield merupakan salah satu aktor remaja yang lumayan bertalenta, dan saya masih berharap karirnya masih bisa menanjak. Sayang saja, peran lead disini memang bukanlah yang terbaik dibanding film-film terdahulunya.
Kalau bicara tentang Eva Green, aktris yang fenomenal lewat unsimulated sex scene-nya di “The Dreamers,” saya menyukai perawakannya disini. Gayanya memang agak mengingatkan saya dengan kostum-kostum di franchise ‘Harry Potter,’ dan yang paling saya senangi adalah melihat hairstyling Miss Peregrine yang cukup khas buat saya. Kalau penampilannya, sosok tegas Miss Peregrine terasa terlalu antagonis, walaupun sebetulnya karakter ini merupakan karakter protagonis pendukung.
Namun yang paling mengejutkan saya adalah karakter Miss Avocet yang diperankan Judi Dench. Saya mengira tokoh ini punya peran penting mengingat diperankan oleh aktris legenda kaliber Oscar. Ternyata, dia cuma numpang lewat layaknya cameo yang begitu saja. Dari para peculiar, yang menjadi favorit saya adalah sosok Bronwyn Buntley yang diperankan Pixie Davies. Perempuan imut ini punya tenaga sepuluh orang dewasa dengan tubuh gempalnya. The unexpected one!
Film ini sebetulnya punya cast yang menarik. Di sisi antagonis ada Rupert Everett hingga Samuel L. Jackson. Menariknya, walaupun dikemas cukup gelap, Samuel L. Jackson membawakan karakter Mr. Barron dengan cukup komikal dan bodoh. Yang agak cukup saya sesalkan adalah ketika sosok antagonisnya terkesan cukup ‘jomplang’ dengan para protanogis. Lain halnya dengan antagonis di seri lainnya yang biasanya dihadirkan lebih hebat ataupun setara dengan para protagonis.
Dari sisi teknis, saya menyukai visual effect, kostum, dan makeup film ini. Misalnya, ketika permainan visual effect saat Jake dan Emma memasuki ruang rahasia Emma yang berada di dalam kapal yang telah tenggelam. Kalau costume design dan hairstyle and makeup, dari bagaimana karakter-karakter yang cukup banyak ini berhasil ditonjolkan dengan porsi sepantasnya dan bisa diingat dengan tepat. Yang membuat saya tidak heran adalah ketika melihat nama Coleen Atwood, peraih 4 Oscar yang juga menggarap “Fantastic Beasts and Where to Find Them” beserta film-film Burton lainnya.
Akhir kata, mungkin film ini tidak terlalu berbekas. Tapi buat saya film ini masih lumayan menghibur. Toh, saya cukup menikmati momen-momen pertarungan para peculiar yang cukup bikin deg-degan. Mengutip ucapan Emma di film ini, “You don’t have to make us feel safe … because you’ve made us feel brave.” One thumbs up!