Kalimat tersebut selalu hadir dalam benak saya ketika menyaksikan film ini. “The Exterminating Angel” adalah karya Buñuel yang pertama saya tonton. Film buatan Mexico ini masih hadir dengan format hitam putih, lewat aspect ratio seukuran televisi tradisional. Karya ini dirilis pada bulan Mei 1962, di ajang Cannes Film Festival dan berhasil meraih FIPRESCI Award.
Cerita berawal saat Edmundo Nóbile dan istrinya, Lucia, mengajak kenalannya untuk menyantap malam bersama. Disaat yang bersamaan, sekelompok pelayan memutuskan untuk keluar dari mansion megah majikan mereka dan meninggalkan tugas mereka untuk melayani para tamu. Tanpa ada alasan yang jelas.
Pelayan yang tersisa kemudian masih berupaya untuk melayani tamu-tamu ini. Setelah kenyang, salah seorang diantara mereka yang bernama Bianca, diperankan oleh Patricia de Morelos, memainkan sebuah piano sonata. Acara kemudian berlanjut di ruang musik. Yang menarik, tidak ada tamu yang seakan berniat untuk pamit dan pulang. Malahan, mereka menanggalkan gaun dan jas mereka, bercakap-cakap, hingga tertidur ramai-ramai memenuhi seisi ruangan. Kejanggalan ini pun dimulai dan terus berlanjut.
Bicara ceritanya, “The Exterminating Angel” menawarkan sebuah tontonan yang kadang masih berlaku hingga hari ini dalam realita. Keinginan para tamu yang ingin keluar dan pamit selalu digagalkan dengan menunda-nunda, padahal itu merupakan aksi yang ingin mereka lakukan. Begitu juga dengan hari ini, masih terasa relevan. Kadang orang cukup mengeluh dengan keadaannya, dan sayangnya malah terlelap dengan kenyamanan ataupun situasinya. Mereka tidak berani untuk ‘keluar’ dari batas dan menyelesaikan ataupun meraih yang sebetulnya mereka inginkan.
Tapi tidak hanya disitu saja. Buñuel begitu orisinil dengan kisahnya yang sederhana ini. Ia berhasil menggali dari beragam rupa yang ditampilkannya di film ini. Kita akan melihat sosok asli satu per satu dari para pemainnya, ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Semakin lama bersama, kepribadian asli dari setiap karakter pun semakin terbuka. Kombinasi ini pun kadang kita jumpai di kehidupan kita. Misalnya, seperti bagaimana seseorang memutuskan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Mungkin akan ada yang berani menghadapi masalahnya, tapi ada juga yang pecundang, ataupun kabur dari masalah. Atau bisa saja versi ekstrimnya, menghabisi nyawanya sendiri. Sosok-sosok inilah yang coba dijelaskan Buñuel dalam drama fantasinya.
Buat saya, yang baru pertama kali menyaksikan film ini, sebetulnya membuat saya sedikit frustasi. Mungkin karena saya yang sebetulnya cukup ‘membenci’ aksi tunda menunda yang selalu diperlihatkan film ini, dan juga karena adegan tersebut dikemas seakan selalu ‘nyaris.’ Inilah yang membuat saya cukup jengkel dengan film ini sebetulnya. Juga, karakternya yang terlalu banyak kurang begitu mudah buat saya untuk diikuti satu per satu dengan baik. Kisahnya terpusat pada serombongan tamu, tanpa terfokus pada individu-individu tertentu.
Sepanjang menyaksikan film ini, yang paling menarik buat saya adalah ketika mereka mulai sadar untuk bertahan hidup. Padahal akan terasa cukup menggelikan ketika menyadari kalau sekelompok orang berusaha bertahan hidup dan tidak mau meninggalkan ruangan mereka karena alasan yang pasti. Ini yang masih menjadi misteri dan terus menjadi pertanyaan sekaligus pemicu ketertarikan untuk terus mengikuti ceritanya. Sayang, Buñuel tidak pernah menjabarkan ataupun membuka rahasia tersebut. Sehingga Anda hanya bisa menerka-nerka saja pada akhirnya.
Namun, ketika saya mencoba memahami dari setiap adegan film ini, terasa begitu berbeda. Buñuel tidak hanya berfantasi, tetapi juga bermain dengan segala simbolisasi dan kritik-kritik terpendam, seperti yang pernah coba dijelaskan Roger Ebert. Saya cukup mengagumi orisinalitas Buñuel yang berhasil membuat saya jengkel sepanjang film.