Jangan tertipu dengan kata Manchester di film ini. Mungkin awalnya anda akan mengira kalau film ini bersetting di Inggris, seperti saya. “Manchester by the Sea” merupakan setting dari sebuah drama yang berbicara tentang kematian seorang saudara laki-laki, masa depan putra tunggal yang ditinggalkan, serta kisah tragis seorang pria. Judul film ini merupakan sebuah kota kecil di Massachussets, yang cukup dikenal lewat Singing beach serta arsitektur unik Kragsyde Mansion.
Pria yang saya maksud disini adalah Lee Chandler, yang diperankan oleh Casey Affleck. Lee adalah seorang pria yang hidup sendiri di Boston. Sehari-hari Ia bekerja sebagai seorang plumber, janitor dan juga technician. Ia melewati beragam perlakukan dari para pelanggannya. Suatu ketika Ia dihubungi George, salah seorang kerabat keluarga yang diperankan C.J. Wilson, yang memberi tahu jika kakaknya telah meninggal akibat serangan jantung. Atas kabar tersebut, Ia kemudian kembali ke Manchester by the Sea untuk mengurus pemakaman Joe, mendiang kakak yang diperankan Kyle Chandler.
Joe meninggalkan seorang putra berusia 16 tahun bernama Patrick, diperankan oleh Lucas Hedges. Sebetulnya Patrick tidak seorang diri. Ibunya yang bernama Elise, diperankan Gretchen Mol, masih hidup dan tinggal di sekitar Essex. Sayangnya, Elise telah meninggalkan keluarganya karena Ia mengalami gangguan depresi sekaligus kesehatan Joe yang sudah didagnosa mengalami penurunan daya kerja jantungnya. Sembari mengurus pemakaman Joe, Patrick harus menerima kenyataan: jika Ia harus menjadi wali Patrick sambil teringat akan kenangan-kenangan tragisnya di Manchester.
Film yang dihadirkan Kenneth Lonergan sepanjang 2 jam lebih ini akan menuntut anda untuk siap. Siap untuk menerima kenyataan pahit dalam ceritanya yang tidak akan mengenakkan. Cerita dalam film ini dihadirkan secara bolak-balik. Penonton akan terfokus dengan perjalanan Lee kembali ke Manchester sambil mengurus pemakaman Joe, sambil terfokus dengan masa lalu yang berisi kenangan manis dan pahit. Film ini kuat dengan dialognya yang terlihat begitu natural, disertai dengan tokoh-tokoh dalam ceritanya yang cukup berkarakter.
Karakter Lee yang pendiam menghadirkan sebuah teka-teki akan keputusan yang akan diambilnya. Yang saya sukai, Lee tidak ditampilkan sebagai seseorang yang ‘super’ karena masa lalunya. Ia seakan masih belum bisa berdamai dengan luka tersebut, dan membuatnya menjadi seseorang yang tidak tegas ataupun berdaya. Baiknya, Casey Affleck berhasil menampilkan sosok Lee yang tidak sempurna ini untuk dapat ‘diterima’ penonton sebagai dampak tekanan-tekanan masa lalu. Buat saya, Lee tidak meminta simpati ataupun empati dari penonton, namun kehadirannya seakan minta ‘dimengerti’, dan itu yang saya rasakan.
Menariknya, lawan mainnya adalah keponakan Lee satu-satunya. Patrick dihadirkan sebagai sosok keponakan yang sebetulnya sudah cukup dekat dengan Lee. Ia sering menghabiskan waktu untuk memancing bersama, termasuk dengan ayahnya. Seiring menjadi remaja, Patrick mulai berubah sebagai seseorang yang cukup populer. Ia bermain di tim hoki sekolahnya, aktif dalam kegiatan band, dan sampai memiliki 2 pacar sekaligus. Akan tetapi, sepeninggal sang ayah juga memberikan tekanan batin tersendiri. Lucas Hedges pun berhasil menghadirkan situasi tersebut, dan jadi lawan main yang tepat sebagai kebalikan Lee. Disinilah chemistry kedua aktor ini menghidupkan cerita, lewat dua karakter yang sama-sama tertekan.
Walaupun terbilang panjang, Lonergan menghadirkan drama ini menarik untuk diikuti, tanpa perlu suatu ekspektasi manis. Cukup menarik ketika hubungan paman dan keponakan bisa jadi sebuah drama yang cukup memicu emosi, plus dengan musik Lesley Barber yang mendayu-dayu. Penyajian film ini pun menarik. Lonergan menggunggulkan pengambilan gambar secara diam pada dialog-dialognya, sambil memainkan sudut-sudut agar terasa hidup. Tapi yang cukup saya sukai saat percakapan Lee dengan Patrick yang kadang diambil secara berjalan, di sudut-sudut trotoar dengan latar kota Manchester yang enak dipandang.
Menyaksikan film ini, penonton melihat begitu sulitnya untuk menyembuhkan luka batin. Seperti Elise yang mencoba untuk menghilangkan depresinya dengan menikahi pria Kristen yang taat, ataupun mantan istri Lee yang mencoba membangun kehidupan keluarganya yang baru, hingga Lee sendiri akan penyesalan dari segala ulahnya. Banyak yang bilang kalau time will heals pain, tapi menurut saya luka batin akan tetap berbekas. Mengutip ucapan Lee, “I can’t beat it. I can’t beat it. I’m sorry.” Deeply unexpected.