Dianggap sebagai salah satu sinema Australia terbaik di tahun 2015, “Holding the Man” menghadirkan kisah sepasang gay dalam melewati kehidupan mereka sampai keduanya didiagnosa positif mengidap AIDS.
Film ini mengajak penonton untuk kembali ke tahun 1976, tahun dimana kisah ini berawal. Timothy Conigrave, yang diperankan oleh Ryan Corr, adalah seorang remaja yang mengikuti kelas drama. Ia selalu terlihat kesulitan untuk memperlihatkan ekspresinya dalam adegan percakapan berbau percintaan dengan wanita lawan mainnya. Alhasil, Ia harus membayangkan lawannya sebagai pria yang selama ini diincarnya, John Caleo.
John, yang diperankan oleh Craig Stott, merupakan seorang captain footbaler dari Essendon Football Club. Mereka berdua sama-sama bersekolah di Xavier College. Suatu ketika, John mengalami cedera dari salah satu pertandingannya. Saat Ia membuka matanya, dan menyadari ada di rumah sakit, Ia melihat sosok Tim sedang duduk di depannya. Disinilah keduanya berkenalan. Tim pun langsung mengundang John untuk menghadiri pentas “Romeo and Juliet” yang diperankannya.
Sayang, John tidak menghadiri pertemuan tersebut. Namun, usaha ini ternyata semakin membangun keagresifan Tim untuk merebut hati John. Ia terus mengejar John berjalan dengan tongkat untuk membantunya membawa barang, berusaha untuk sekelas dengannya, hingga nekat mengirimkannya surat di kelas. Alhasil, semuanya terbayar ketika Tim mengakui perasaannya. Tetapi kisah film ini tidak akan semanis itu. Ini hanyalah sebuah awal dari perjalanan cinta Tim dan John.
Cerita dalam film ini diangkat dari sebuah memoar Tim Conigrave berjudul “Holding the Man” yang diselesaikannya pada Oktober 1994. Sepuluh hari setelah menyelesaikan buku ini, Tim Conigrave yang saat itu berusia 34 tahun tutup usia setelah mengidap AIDS yang dideritanya. Buku ini sempat menjadi peraih UN Human Rights Awards untuk non-fiksi dan masuk ke dalam 100 Favourite Australian Books versi Australian Society for Authors.
Kisah dalam buku tersebut kemudian diadaptasi oleh Tommy Murphy, penulis LGBT asal Australia dan merupakan screenplay featured film pertamanya. Adaptasi Murphy menghadirkan sebuah perjalanan flashback yang sangat panjang akan Tim dalam merekoleksi kembali ingatan-ingatannya bersama John. Murphy sendiri berhasil mendapat penghargaan best screenplay dari Augie Award dan Film Critics Circle Australia.
Film yang disutradarai Neil Armfield, yang juga sutradara “Candy,” menghadirkan sebuah tontonan manis nan vulgar akan penggambaran kehidupan LGBT, khususnya kaum Gay di Australia. Sayangnya buat saya, tidak ada sesuatu yang terkesan menantang ketika Tim dan John memulai hubungan mereka. Kisah mereka terlalu begitu smooth, walaupun disertai dengan konflik-konflik yang begitu saja. Armfield cukup berhasil dalam menghidupkan kembali reka ulang Tim dan John, namun seakan terjebak dalam kisah cinta mereka dan kurang menginspirasi.
Chemistry-lah yang menurut saya jadi kekuatan besar film ini. Ryan Corr bersama Craig Stott menampilkan permainan karakter yang cukup emosional. Keduanya dapat dibilang sebagai salah satu pasangan gay terbaik dalam film selain “Brokeback Mountain.” Film ini juga diramaikan Sarah Snook sebagai Pepe Trevor, sahabat keduanya. Guy Pearce dan Kerry Fox juga berperan sebagai orangtua Timothy, Dick dan Mary Gert. Dari sekian pemain pendukung, yang paling menonjol adalah sosok Bob Caleo, yang diperankan Anthony LaPaglia, yang sangat sulit untuk menerima keberadaan Tim dalam kehidupan John.
Sosok Timothy Conigrave tentu jadi karakter yang menarik untuk digali di film ini. Mulai ketika Ia berani untuk terbuka akan orientasi seksualnya, aktif sebagai aktivis AIDS dan LGBT sejak jaman kuliah, hingga berlapang dada akan warisan John karena status hubungan mereka yang tidak diakui. Corr berhasil menampilkan bagaimana Tim seakan tidak dapat hidup sendiri, walaupun Ia berusaha untuk ‘mendapat kenikmatan’ dari rekan-rekannya, mengunjungi gay bar saat Ia di Melbourne, hingga sadar jika kehidupan seks bebasnya membawa dirinya beserta pasangannya ke dalam sebuah malapetaka.
Sepanjang menikmati film ini, adegan favorit saya adalah saat detik-detik kepergian John, saat Ia terbaring dan menarik napas dengan berat sambil dikeliling orangtua dan Tim. Walaupun terasa cukup panjang, setidaknya “Holding the Man” masih memberikan banyak hal didalamnya. Film ini memperlihatkan kekontrasan dua jenis orangtua: yang satu lebih religius konservatif dan satu lagi yang lebih free and open minded. Selain itu film kembali mengingatkan akan periode awal mewabahnya AIDS di tahun 80-an, ketika banyak menimpa homoseksual akibat hubungan seks bebas mereka.
Film ini dimulai dan diakhiri lewat perjalanan Tim ke Pulau Salina di Italia, mengunjungi kampung nenek moyang John. Saya suka bagaimana cara Tim untuk menutup cerita dalam bukunya, sama seperti film ini ditutup: “I guess the hardest thing is having so much love for you and it somehow not being returned. I develop crushes all the time, but that is just misdirected need for you. You are a hole in my life, a black hole. Anything I place there cannot be returned. I miss you terribly. Ci vedremo lassu, angelo.”