Mem-bully mungkin sudah menjadi hal yang tidak begitu asing di telinga kita. “Kes” berkisah tentang seorang anak yang mengalami perilaku kekerasan, tidak hanya di dalam rumah dan di lingkungannya. Melalui film ini Ken Loach, sutradara film ini, menghadirkan sebuah cerita yang berhasil menjadi salah satu film Inggris terbaik dari lembaga British Film Institute.
Anak ini bernama, Billy Casper, diperankan oleh David Bradley. Adegan pertama film ini menampilkan adegan dimana Billy setiap hari tidur di sebuah single bed bersama Jud, saudara laki-lakinya yang diperankan Freddie Fletcher. Pagi itu, alarm tiba-tiba berbunyi membangunkan mereka berdua. Dering yang ditujukan untuk Jud malah dihiraukan dan dimatikannya. Billy, yang masih mengingatkan Jud, malah mendapatkan kekerasan dari niat baik itu.
Kehidupan keluarga Casper mungkin tidak seindah yang dibayangkan. Mereka hidup di Yorkshire, wilayah yang berpenghasilan paling rendah di Inggris. Ayah Billy dan Jud juga meninggalkan mereka. Mereka hanya bergantung pada Ibu mereka. Namun, keduanya masih tetap mencari pekerjaan untuk memenuhi kehidupan mereka. Jud bekerja sebagai penambang batu bara, dan Billy menghabiskan waktunya sebelum sekolah untuk menjadi pengantar koran.
Tidak hanya di rumah, ternyata Billy juga mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan di sekolah. Suatu ketika, Ia menemukan sebuah sarang burung. Disitulah Ia bertemu dengan Kes, seekor elang yang dicoba untuk dilatihnya. Melatih Kes, yang diawali dengan menjajakannya potongan-potongan daging dan belajar melalui buku curian, menjadi aktivitas yang dilakukan untuk mencari kebahagiannya sendiri.
Film Inggris buatan 1969 ini dihadirkan Ken Loach dengan suatu tampilan realis yang kurang mengenakkan. Mengapa? Sebab dialek Yorkshire yang memenuhi film ini mungkin akan cukup mengganggu untuk para penonton, dikarenakan dengan cara penyampaian aksen British yang lebih tidak lazim dari yang biasa kita dengar. Alhasil, tontonan yang hampir 2 jam ini masih sedikit memikat saya walaupun secara pace yang dihadirkan Loach terkesan sangat pelan, sehingga akan membuat penonton cepat bosan. Inilah yang membuat saya mungkin hanya cukup untuk menyaksikan film ini satu kali saja.
Akan tetapi, film ini memperlihatkan sistem pendidikan Inggris kala itu yang cukup keras dan disiplin. Contohnya, seperti para siswa yang harus keluar kelas dengan teratur melalui baris berurutan, ataupun mengikuti kegiatan keagamaan. Aksi tenaga-tenaga pendidik di film ini juga terasa kurang friendly, terutama sang pengajar olahraga yang masih mau mendominasi permainan bola murid-muridnya dengan menjadi kapten sekaligus wasit, ataupun hukuman mandi air dingin yang diserahkan pada Billy.
Kekerasan lainnya di sekolah juga tampak terlihat. Dari bagaimana ketegasan namun kasar yang dihadirkan setiap guru melalui ucapan-ucapan mereka, para siswa yang saling mem-bully rekannya lewat ejekan hingga adegan berkelahi.
Menariknya, karakter utama kita tidak dihadirkan sebagai sosok protagonis yang mampu menuai simpati. Billy dihadirkan sebagai sosok seorang remaja yang ingin bebas, walaupun dari segelintir kekurangannya yang masih suka tangan panjang. Kekerasan yang dialaminya membentuk dirinya menjadi seseorang yang tampak lemah, namun sebetulnya masih punya semangat untuk melawan. Memang saya tidak terlalu menyukai penokohannya, akan tetapi karakter Billy memperlihatkan kalau Ia masih mampu ‘melawan’ dari segala keterbatasannya itu.
Dibalik semua itu, film ini masih patut jadi tontonan yang sedikit menginspirasi. Kondisi Billy memang diperlihatkan penuh akan keterbatasan. Ia seakan tidak punya power dan juga serba tidak punya apa-apa. Namun, ketika berbicara akan sebuah kesalahan, membuat sebuah kesalahan patut menjadi sebuah hal yang perlu dihadapi. Tidak ada pengecualian untuk itu. Usaha melarikan diri dari masalah yang diperlihatkan Billy ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah. Alhasil, Ia malah menghadapi sebuah musibah besar yang harus diterimanya dengan lapang dada. Poor Billy… You need to face the obstacles, not hide from it.