Di-remake dari sebuah social film garapan Intel dan Toshiba, “The Beauty Inside” mengangkat sebuah kisah percintaan yang agak tak lazim. Penonton akan dihadapkan dengan situasi yang unik dengan wujud karakter utama kita yang selalu hadir dalam rupa yang berbeda-beda.
Film ini bercerita mengenai Woo-Jin, seorang desainer interior yang baru mulai mengenal cinta. Sebelumnya, Ia hanya selalu terbatas pada one night stand. Itupun hanya terjadi ketika kalau Ia merasa rupanya kala itu bisa memikat wanita yang ditemuinya di sebuah bar. Setiap keesokan paginya, Ia selalu bangun lebih dulu. Ia berusaha menghindari ‘kemampuan dirinya’ yang selalu berubah setiap kali Ia terbangun.
Hidup Woo-Jin layaknya sebuah music jukebox yang bisa memutar genre apa saja. Hari-harinya layaknya seseorang yang mengisi koin pada alat tersebut tanpa ekspektasi jenis lagu apa yang akan dijalankan. Ia tidak akan pernah bisa menebak akan menjadi sosok apa. Baik menjadi pria tampan, atau wanita cantik mempesona, atau juga menjadi seorang kakek yang kabur pandangannya. Perubahan fisik yang selalu terjadi secara random ini membuat dirinya selalu berjaga-jaga. Berjaga-jaga untuk dapat menjadi siapa saja, termasuk mengantisipasi segala kekurangan raga dari rupa yang sedang Ia perankan.
Suatu ketika, Ia berhasil menemukan gadis impiannya. Ia adalah Yi-Soo, seorang sales furniture yang diperankan Han Hyo-Joo. Setiap hari, dengan tubuh yang berbeda-beda, Ia menghampiri toko furniture tersebut. Semuanya dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu sekaligus semakin mengenal wanita yang sebetulnya tidak menyadari aksi ini. Kala itu, Woo-Jin yang sudah menyiapkan keberaniannya, hanya perlu satu hal: berada dalam tubuh pria tampan yang bisa memikat Yi-Soo.
Film debut pertama sutradara asal Korea Selatan yang bernama Baik aka Baek Jong-Yul ini cukup berhasil memikat. Ceritanya yang unik, sedikit mengingatkan saya dengan tema percintaan tak lazim seperti “The Curious of Benjamin Button.” Kedua kisah ini punya satu kesamaan: love interest dalam ceritanya normal dan karakter utamanya yang ‘tidak’ normal.
Sayang saja, Jong-Yul kurang berhasil membuat kisah ini ke titik puncak kesedihan yang berarti. Romansa yang dikemas hadir terlalu manis, walaupun sudah diiringi musik gubahan Jo Yeong-Wook yang terkesan mencoba memasang mood penonton dengan kesedihan. Ini belum ditambah dengan cerita yang terlalu cukup mengeksplorasi keunikan Woo-Jin. Buat saya, pengembangan cerita dengan pembangunan mood penonton berjalan tidak sejalan. Titik puncak ekspektasi saya seakan terlalu tinggi bila dibandingkan dengan titik puncak cerita dalam film ini.
Terlalu banyaknya pemeran Woo-Jin juga menjadi poin penting buat editing dalam film ini. Salah satu yang saya sukai adalah shot-shot pendek beberapa aktor Woo-Jin yang kemudian digabungkan ke dalam sebuah scene. Hasilnya, lewat editan Yang Jin-Mo, film ini punya daya tarik tersendiri untuk memikat penonton dari keunikan cara hidup Woo-Jin.
Menariknya, Woo-Jin diperankan oleh sekumpulan aktor-aktris Korea Selatan yang sudah tidak begitu asing buat saya. Mulai dari Seo Kang-Joon, Park Shin-Hye, Park Seo-Joon, Kim Sang-Ho, Lee Hyun-Woo, Lee Dong-Wook, Ko Ah-Sung hingga Yoo Yeon-Seok. Ini belum ditambah dengan kurang lebih 100 pemeran lainnya yang memang tampil tanpa dialog. Keragaman yang diperlihatkan terkesan menarik, dan menggambarkan sikap Yi-Soo pada penonton bahwa cinta tak mengenal rupa. Sebuah hal yang sering diangkat di film dan yang tidak bisa diterima secara mentah-mentah di dunia nyata.
Sosok Han Hyo-Joo dalam film ini terlalu berkilau dan memikat buat saya. Sejak pertama kali menyaksikan aktingnya dalam serial “Brilliant Legacy” bersama Lee Seung-Gi, sudah tidak membuat saya heran dengan kemampuannya. Hyo-Joo berhasil menyeimbangkan karakternya dengan lawan main yang begitu banyak. Ini membuat saya tidak terkejut dengan nominasi aktris terbaik yang didapatnya dari film ini pada ajang Grand Bell Awards, Blue Dragon Film Awards, hingga Baeksang Arts Awards.
Secara penggarapan, film ini terbilang lumayan, namun masih kurang penekanan pada titik konflik dan kesedihan yang kurang mengena. Walaupun demikian, film yang berdurasi 126 menit ini bisa menjadi sebuah rekomendasi buat anda yang haus tontonan percintaan-percintaan cantik dan manis ala negeri ginseng.