Tidak banyak yang mungkin mengingat “Uptown Girls,” satu-satunya kolaborasi mendiang Brittany Murphy dengan Dakota Fanning. Romcom 2003 ini berkisah tentang tumbuhnya hubungan persahabatan seorang nanny dengan anak yang diasuhnya.
Molly Gunn, diperankan oleh Brittany Murphy, adalah seorang perempuan yang berjiwa bebas, dan hidup dalam bayang-bayang gemerlap mendiang sang ayah, yang merupakan seorang legenda musik. Ia tinggal di sebuah apartemen, di tingkat yang paling atas, dan ditemani seekor babi kecil piaraannya.
Di malam ulang tahunnya, Molly segera bergegas ke sebuah klub. Sederetan bunga telah memenuhi lorong pintu apartemennya. Ini belum ditambah dengan hadiah-hadiah yang penuh di lobby utama. Ia terlalu menikmati kehidupannya. Di klub tersebut, Ia kemudian mendapat kejutan dari Huey dan Ingrid, kedua sahabatnya yang diperankan Donald Faison dan Marley Shelyon. Di saat yang sama, Ia secara tidak sengaja bertemu dengan seorang anak kecil bernama Ray, sekaligus jatuh hati pada penampilan Neal Fox.
Sayang, kehidupan bak putri ini harus berakhir. Akuntan keluarganya mengatakan bahwa harta yang dimiliki oleh mendiang Ayahnya telah habis, dan Ia harus kehilangan tempat tinggalnya. Dibantu para sahabatnya, Molly dituntun untuk dapat menentukan kehidupannya. Salah satunya adalah dengan memiliki penghasilan. Molly kemudian bekerja sebagai nanny seorang anak 8 tahun yang bernama Lorraine ‘Ray’ Scheine, yang diperankan oleh Dakota Fanning.
Cerita dalam film ini sebetulnya terpusat pada hubungan Molly dan Ray. Molly, yatim piatu, namun sudah terlalu enak dengan kondisinya, membuat sosoknya sebagai seseorang yang tidak dewasa. Lain halnya dengan Ray, yang masih 8 tahun, namun punya kecemasan pada gangguan tubuh dan sangat pembersih. Tubuhnya memang mungil, namun Ray lebih dewasa dalam bertutur dan berpikir. Sosok kedua perempuan yang cukup berbeda ini, ternyata bisa menghadirkan sebuah kombinasi persahabatan yang tak terduga.
Penampilan Murphy sebetulnya lumayan menghibur. Apalagi ini belum ditambah aksi-aksi Dakota yang cukup menggemaskan buat saya. Karakter Dakota sedikit mengingatkan saya pada seseorang anak indigo yang bertingkah dewasa dan merasa terjebak dalam tubuh anak kecil. Memang agak sedikit tidak nyambung, akan tetapi keduanya boleh dibilang sudah lumayan oke.
Yang agak disayangkan sebetulnya adalah penggarapan ceritanya. Trio Dahl, Ogrodnik dan Davidowitz terlalu memberi banyak penekanan pada ketololan Molly. Alhasil, cerita terkesan cukup tidak terfokus, dan seakan berjalan masing-masing dengan dangkal. Mulai dari kisah cinta Molly yang dibuat begitu saja, kisah persahabatan yang terkesan seadanya, kisah bagaimana Molly memulai hidup dengan sebenarnya, hingga masih minimnya pengembangan kisah pada Molly dan Ray. Ini juga berdampak buat sutradara Boaz Yakin yang sebelumnya menggarap “Remember the Titans.” Yakin tidak hadir se-inspirasional film sebelumnya, tetapi malah seakan terjebak dalam kedangkalan ini.
Untungnya, film ini cukup singkat, hanya 92 menit, namun terasa cukup lama. Mungkin bila film ini lebih dari 120 menit, saya akan menyebut film ini sebagai disaster! Materi film ini sebelumnya bisa menjadi sesuatu yang lebih, sesuatu yang disayangkan dari jajaran cast yang cukup menjajinkan.