Menyaksikan pertama kali trailer film “Hello, My Name Is Doris” langsung membuat saya untuk menjadikannya ke dalam watchlist saya. Sally Field, yang hampir memasuki usia ke-70, kembali ke layar lebar sebagai pemeran utama, setelah 10 tahun yang lalu dalam “Two Weeks.”
Doris Miller, diperankan oleh Sally Field, baru saja kehilangan Ibunya yang meninggal karena usia tua. Kini, Ia hidup seorang diri di rumahnya beserta barang-barang penuh kenangannya di Staten Island, New York. Ia juga masih bekerja sebagai seorang staf di bagian accounting. Kehidupan Doris sebagai angkatan kerja purna juga terkesan biasa saja. Ia masih menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Roz, yang diperankan oleh Tyne Daly.
Hari itu mengubah Doris. Kantornya baru saja kedatangan karyawan baru bernama John Fremont, diperankan oleh Max Greenfield. John, adalah seseorang yang berada di usia 30-an, tampan, dan sudah cukup membuatnya berimajinasi di hari perkenalannya. Tidak lama setelah itu, Ia mengikuti sebuah seminar motivasi dari seorang motivator bernama Willy Williams, diperankan oleh Peter Gallagher. Kalimat “I’m possible” kemudian menjadi penguat dari keinginan konyolnya.
Kebetulan Roz tinggal bersama cucunya Vivian, yang diperankan Isabella Acres. Melalui Vivian-lah Doris mengetahui social media. Setelah Vivian menemukan akun socmed John, Ia bersama Doris melakukan aksi stalking mereka: membuat akun palsu dengan nama Lilith Primrose. Setelah membuat pertemanan di dunia maya, Doris dengan identitas Lilith mencoba mencari tahu minat John, yang berujung pada kedekatan diantara keduanya.
Film ini sebetulnya sudah di release melalui festival SXSW di tahun 2015, namun baru dirilis se-antero Amerika setahun kemudian. Berhasil menyabet Audience Award di SXSW, tentu sedikit menjadi bahwa cerita yang diangkat film ini memang menarik. Ceritanya sendiri sebetulnya diangkat dari sebuah film pendek yang berjudul “Doris & The Intern” yang ditulis dan disutradarai Laura Terruso. Terruso kemudian bersama Showalter menggarap ceritanya kembali, dan jadilah film ini.
Memang sudah tidak diragukan penampilan dari seorang Sally Field. Aktris senior peraih dua piala Oscar ini berhasil memainkan emosi penonton, dengan memikat dari segala ke-eksentrikan Doris hingga menuai empati dari hoarding disorder yang tidak disadarinya. Field benar-benar menghadirkan sebuah penampilan prima di usia-nya yang sudah tidak muda lagi.
Di sisi pendukung, Max Greenfield berhasil jadi love interest yang cukup cocok buat Field. Greenfield hadir sebagai si tampan yang tidak menyadari situasi cinta sebelah pihak. Kedekatan-kedekatan ini tentu tidak disadarinya sebagai ‘Pemberi Harapan Palsu’ buat Doris.
Sebuah tontonan yang menarik. Kisah percintaan dengan situasi generation gap, menjadi dasar banyak bumbu-bumbu di film ini. Mulai dari istilah ‘baller’ hingga adegan tos Doris dan John yang berakhir dengan sedikit roaming. Perbedaan generasi inilah menimbulkan berbagai macam kekonyolan yang terjadi, apalagi ini sedang sejalan dengan Doris yang tengah jatuh dalam lautan asmara.
Saya cukup menikmati ceritanya, terutama suguhan romcom yang cukup segar, yang membuat banyak pecah tawa sepanjang film. Yang pasti, film ini akan menjadi salah satu favorit saya di tahun 2016, dan juga merupakan salah satu kisah percintaan unik yang tidak se-ekstrim “Harold and Maude.”