I think it’s more than friendships! “Fried Green Tomatoes” mengisahkan kehidupan 2 persahabatan dari masa yang berbeda. Film ini merupakan sebuah debut featured sutradara Jon Avnet, yang juga menyutradarai “Up Close and Personal.”
Penonton akan di bawa masuk ke era 80-an, dan berkenalan dengan seorang ibu rumah tangga bernama Evelyn Couch. Evelyn, yang diperankan Kathy Bates, tinggal bersama suaminya, Ed. Mereka berdua sering menyempatkan waktu untuk bertemu dengan bibi suaminya, Aunt Vesta, di sebuah rumah panti jompo. Sayangnya, Aunt Vesta yang tidak akan pernah terlihat penonton, kurang menyenangi Evelyn. Alhasil, Evelyn memutuskan untuk menunggu suaminya di ruang tunggu.
Dari sanalah Ia berkenalan dengan Ninny Threadgoode, diperankan oleh Jessica Tandy. Ninny, seperti gambaran nenek-nenek umumnya, cukup cerewet namun cukup lincah. Pertemuannya dengan Ninny, membawa Evelyn ke babak baru dalam hidupnya. Mengapa? Pada pertemuan awal Ninny bercerita kisah tentang Idgie Threadgoode, yang disebutnya merupakan adik dari suami Ninny. Ketertarikan ini membuat Evelyn dan Ninny melakukan pertemuan sambil melanjutkan cerita yang diperlihatkan kepada penonton.
Lebih dari dua jam, film drama ini punya cerita yang cukup panjang. Tidak hanya kisah Ninny dan Evelyn, namun lebih banyak membahas kisah Ruth dan Idgie. Ceritanya sendiri diangkat dari sebuah novel bertema lesbian berjudul “Fried Green Tomatoes at the Whistle Stop Cafe.” Walaupun diceritakan dengan cukup implisit, sebetulnya hubungan Ruth dan Idgie bisa terbilang lebih dari sahabat, mungkin melebihi versi “Beaches”-nya Bette Midler dan Barbara Hershey. Versi film ini juga punya beberapa perbedaan dengan yang aslinya, seperti penggambaran identitas asli Ninny yang tidak bisa saya bocorkan disini.
Film ini diadaptasi langsung oleh Fannie Flagg, penulis aslinya, beserta Carol Sobieski, yang sebelumnya sempat mengemas cerita film “Annie”. Hebatnya, kisah film ini berhasil masuk ke dalam nominasi skenario adaptasi terbaik dalam ajang Academy Awards 1992, termasuk sebuah posthumous nomination buat Sobieski. Jujur saja, cukup banyak tema-tema yang disentuh oleh film ini. Mulai dari persahabatan, feminisme, rasisme, perebutan anak, tragedi, hingga ketidakharmonisan keluarga.
Selain itu, score-score gubahan Thomas Newman cukup menghidupkan suasana cerita. Salah satu yang saya cukup favoritkan ketika film ini menyelesaikan ceritanya. Ini belum ditambah dengan beberapa original soundtrack film ini seperti “What Becomes of the Brokenhearted” dan “Cherish.”
Namun, dari musik dan ceritanya, saya lebih tergugah dengan kualitas akting yang diperankan. Terutama Tandy, yang baru saja meraih Oscar dari “Driving Miss Daisy.” Tandy, aktris senior 6 generasi yang sangat bersinar di penghujung hidupnya, menghidupkan karakter Ninny yang sebetulnya cukup umum, namun terkesan ingin dicintai dan pantas untuk itu.
Lain halnya dengan Bates yang punya karakter yang mau membuat perubahan dan bangkit dari problematika kehidupannya. Entah kenapa, saya cukup memfavoritkan karakter Evelyn, apalagi ketika Ia akhirnya berani melawan dan mengucapkan salah satu quote terbaiknya disini: “Face it, girls, I’m older and I have more insurance.” Tidak hanya mereka berdua. Mary Stuart Masterson juga tampil sangat mengesankan lewat karakter boyish-nya. Belum special appearance Cicely Tyson yang diam-diam menghanyutkan. Film ini punya ensemble cast yang cukup menarik!
Walaupun lebih mengarah ke tema persahabatan, ini sebuah tontonan berkualitas dari 90-an yang cukup menarik. Entah kenapa, penggambaran film ini membuat saya sering teringat dengan “Driving Miss Daisy,” walaupun sebetulnya saling tidak berhubungan. Yang pasti, menyaksikan film ini cukup serupa dengan “Titanic”: mengisahkan sebuah kisah dari masa lampau. Tetapi, seperti kata Ninny di film ini: “All these people’ll live as long as you remember ‘em.”