Diangkat dari salah satu buku cerita karangan Roald Dahl, “Matilda” mengajak penonton untuk masuk ke dalam kisah dongeng penuh fantasi. Menyaksikan film ini, sedikit mengingatkan saya dengan bagaimana eksentriknya “Edward Scissorhand” menggabungkan fantasi dengan realita, dan ini sedikit terjadi pada Matilda.
Film ini dimulai dengan narasi. Yup, hampir kebanyakan dongeng perlu bermula dengan narasi. Narasi menjadi sebuah jembatan pembuka yang menarik untuk film ini. Kita akan menyaksikan bahwa Matilda merupakan anak yang tidak diharapkan, walaupun kedua orangtua tidak bisa menyangkal akan hasil kelakuan mereka. Ia merupakan anak kedua dari keluarga Wormwood. Ayahnya, Mr Wormwood, diperankan oleh Danny DeVito, adalah seorang penjual mobil bekas yang sering berlaku curang. Ibunya, Mrs. Wormwood, diperankan oleh Rhea Perlman, adalah seorang eksentrik yang gemar bermain bingo. Lain halnya dengan Michael, kakak Matilda yang diperankan Brian Levinson. Michael yang tumbuh subur serta menjadi harapan sang ayah, tampak tidak berbakat apa-apa selain menggendutkan badannya.
Matilda, yang diperankan Mara Wilson, merupakan kebalikan dari semuanya. Ia tumbuh mandiri lebih cepat dari umur orang kebanyakan. Pada usia 4 tahun, Ia mulai menemukan kegiatan favoritnya: membaca. Ia rajin pergi ke perpustakaan seorang diri, dan membaca seluruh bacaan anak disana. Alhasil, Ia tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang pintar.
Suatu ketika, Matilda dimasukkan ke sekolah oleh Ayahnya. Sekolah tersebut bernama Crunchem Hall, dan dipimpin oleh seorang wanita, mantan atlet, bernama Agatha Trunchbull, yang diperankan oleh Pam Ferris. Trunchbull memperlakukan muridnya melebihi batas disiplin. Ia tidak segan-segan melempar muridnya hingga keluar jendela, ataupun memasukkannya ke dalam ruangan hukuman.
Namun, seperti kisah dongeng biasanya, selalu harus ada sosok “ibu peri” disini. Dalam cerita ini, sosok ini bernama Honey, yang diperankan Embeth Davidz. Honey merupakan wali kelas Matilda yang benar-benar memberi kasih sayang pada setiap muridnya. Suatu ketika, Matilda menyadari akan kisah kelam Honey seiring dengan kemampuan pikirannya.
Dalam featured film keempatnya, Danny DeVito menghadirkan sebuah tontonan keluarga yang cukup seru, mulai dari kelucuan-kelucuan Matilda, hingga kisah-kisah dibalik karakter-karakter unik di film ini. Yang paling superb adalah sosok Agatha Trunchbull. Ketika menyaksikan film ini, saya selalu berpikir untuk melihat sosok baik Trunchbull tampak dalam ceritanya. Alhasil, ini hanya sebuah pemikiran yang tidak terjawab, karena tentu akan merusak ceritanya.
Pasangan suami-istri Danny DeVito-Rhea Perlman, juga berhasil memberi warna pada kisahnya. Kolaborasi keduanya sungguh menggambarkan sebuah suasana ketidaknyamanan pada Matilda, dan mereka benar-benar sebuah big deal! Saya cukup menyenangi bagaimana Matilda memberi pelajaran pada orang-orang yang tidak pernah mau membuka pemikiran mereka.
Film ini berdurasi tidak terlalu panjang, namun dikemas cukup menarik. Sosok Matilda yang menjadi fokus utama dalam film ini cukup membangun emosi penonton sebagai anak cerdas yang kurang diinginkan. Walaupun tidak bertema sedih, Matilda berusaha menikmati setiap waktunya seperti dikutip dari narator, “Matilda always wanted to go school because she loved to learn. … After all, school is better than no school at all.”